KATAKAN, APA AKU GILA?


Tirai langit kembali mengembang. Aroma tanah yang menyeruak hingga menembus tulang-tulang rusuk. Sendi-sendi bergetar hebat. Gadis itu menatap indahnya gerimis malam itu. Jatuh perlahan, namun, mulai tampak garang dengan derasnya. Matanya memandang kosong. Tidak ada sepatah katapun keluar di sana. Ia tersenyum. Senyum segaris lurus dengan nanar di dalamnya.

Di depan jendela terbuka, ia memandang penuh arti. Meski nanar, matanya retak sembilu. Ada luka di sana yang tak kunjung pulih. “Hu..janGumamnya lirih.Ketukan terdengar dari luar.Ia tak beranjak sejengkal pun dari kursi kayu hitam pekat itu. Pintu berdecit, seorang wanita tua tampak masuk. “Kei..saatnya tea time,” ada nada kebohongan di sana. “Nek, kenapa setiap hujan turun, kita selalu tea time?” Tanyanya.

Tenggorokan wanita tua itu seakan tercekat oleh sebongkah batu kebohongan yang sangat besar. Lebih tepatnya bukanlah sebuah kebohongan, mungkin.Bukankah..Kei senang? Ada mama, papa, dan Rosa?” Ia menoleh.

Benarkah?” Ada pancaran harapan di bola mata yang kini mengantung itu. Senyum segaris yang tadi, mendadak menjadi senyum termanis yang pernah ada.Meski kini pipi menggemaskan itu kini disulap menjadi pipi yang pucat bagai mayat hidup yang berjalan di atas harapan.

Ia bangkit, rambut hitamnya terurai dengan kusut dan kusam. “Ayo, kita ke sana nek,” ia menarik lengan wanita tua itu keluar dari kamar yang selalu membuatnya bingung. wanita tua itu jalan bersamanya. Membawa kebohongan, kesedihan, dan keperihan.“Mama! Papa! Kak Rosa!” Ia berlari kecil dan memeluk wanita paruh baya yang sedang berusaha tersenyum itu. Mereka duduk layaknya keluarga.

Keluarga itu seakan sedang menampilkan drama televisi yang penuh dengan skenario-skenario yang harus mereka hafal.Kak Ros, Kak Ros. Aku bingung.kenapa kamarku yang sekarang, ah tidak. Maksudku, semenjak kalian pergi ke luar kota itu, menjadi serba putih ya. Kei kan suka warna pink,” air muka gadis dengan rambut hitam panjang sepundak itu mendadak berubah. Ada luapan nano-nano yang selalu ia tahan di sana. Bodoh! Ini semua bodoh! Jelas saja itu putih! Kau sedang di Rumah Sakit Jiwa!!! Drama yang berbulan-bulan diciptakan dengan alasan bodoh, hanya untukmu! Kurasa kita semua sudah terlalu jahat untuknya! Cara seperti ini tidak akan pernah bisa menyadarkannya! Ini justru membuat kita semakin jahat, dan jahat terhadapnya!” Akhirnya, ia pun meletup.

Semua membisu sesaat.Apa yang kau bicarakan Rosa?” Wanita tua itu berdiri dengan wajah merah padam.

“DIAM!DIAM!”Gadis itu memecah suasana yang tegang itu.“dia bukan Rosa! Dia bukan mamaku! Dia juga bukan papaku! Kenapa nenek bohong!? Aku tak mengerti, kenapa nenek harus bohong?” Matanya yang menyimpan luka itu kini menderai air mata.

Kau yang salah! Karena kau, kami harus memainkan semua drama ini!”Perempuan yang berperan sebagai Rosa itu mencambuk sekali lagi lukanya.“Diam!Diam!” Ia kembali memberontak. Menarik-narik rambutnya, dan menjerit penuh pilu.“Suster!Suster!” Dua wanita berbaju putih langsung memegang kedua tangannya.“Lepas! Aku tidak gila! Lepas! Nenek! Bilang sama mereka, aku baik-baik saja kan? Mama dan papa, kak Rosa dimana?? Mereka akan pulang kan? Nenek! Aku tidak gila!” Ia meronta-ronta segila mungkin, dan menghilang di balik pintu kamar yang menjadi pembatasnya.

Ini semua salahmu, Mei!” Kata wanita tua itu.Matanya kembali berkaca-kaca.“jika saja kau tetap berusaha untuk melakukan terapi ini padanya. Aku yakin, akan ada waktu yang tepat untuk ia pulih seutuhnya. Tapi, kau merusak segalanya!” Gadis itu menghela napas kesal.“Nek, dengarkan aku. Cara seperti itu bukanlah suatu terapi! Dia justru akan semakin tidak dapat pulih, dan semakin tersakiti. Aku yakin, jiwanya, belum pulih seutuhnya.Ada luka di dalam tatapannya. Aku tidak mau sepupuku terus merana dalam hal yang membuatnya semakin sakit dan sulit untuk pulih! Hentikan semua ini.”

Wanita tua itu terduduk lemah. Menangisi setiap kebohongan, kesalahan, dan kepedihan cucunya. Hujan semakin meredam letupan berbagai emosi di malam itu. Sedangkan Kei, ia terduduk dengan suntikan obat penenang. Matanya menyorot luka.Ia menangis dalam diam. “Tolong, siapapun, katakan, aku tidak gila, kan?” Tanyanya pada hujan.


 

 


Posting Komentar

0 Komentar