Albayaanaat.com - Mari kita mengulang kembali ingatan pada penghujung tahun 2010 hingga awal tahun 2011. Kawasan di Afrika Utara dan Timur Tengah tengah mengalami pergolakan politik yang dikenal dengan Jasmine Revolution atau Revolusi Melati. Revolusi ini memiliki tujuan utama, yakni menumbangkan para penguasa, dimulai dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Libya, dan negara-negara lainnya. Bara di Timur Tengah ini nyatanya belum berakhir pasca kemunduran Hosni Mubarak -11 Februari 2011- dari singgasana kekuasaannya di Mesir. Sebelumnya, Presiden Tunisia, Zine Abidin Ben Ali (Zainal Abidin bin Ali), berhasil digulingkan pada 14 Januari. Hal tersebutlah yang menyebabkan Mubarak menyerahkan pemerintahannya sementara kepada militer, sampai akhirnya api revolusi itu menyebar ke negara-negara Arab; termasuk kawasan Persia.
Tunisia dan Mesir merupakan negara-negara yang paling jelas sedang mengalami transisi politik setelah gerakan revolusioner menumbangkan rezim penguasa. Awal spectrum gelombang revolusi yang terjadi di Tunisia inilah yang memengaruhi lanskap politik Timur Tengah dan Afrika Utara. Ben Ali harus menerima kenyataan mundur dari kekuasaannya yang telah digenggamnya selama tiga dekade, menyusul Mesir yang bergejolak. Rakyat Mesir melakukan gerakan massa untuk menjatuhkan rezim Hosni Mubarak. Setelahnya, giliran Libya dan Yaman yang terkena efek revolusi Tunisia. Revolusi Melati ini adalah suatu istilah yang diberikan di Timur Tengah—istilah ini bertujuan untuk mengidentikkan pergolakan rakyat di negara-negara Timur Tengah dan diibaratkan seperti bunga melati yang sedang mekar.
Baca Juga
Puisi: Alat Perlawanan Penyair Palestina
Timbulnya pergolakan rakyat di semenanjung Timur Tengah dan Afrika Utara begitu cepat dan hanya butuh "pemantik api" untuk menyalakan api dalam sekejap dan siap membakar. Pada akhirnya, semua itu terbukti, api tersebut betul-betul membakar rakyat di kawasan Timur Tengah untuk menumbangkan rezim penguasa. Saya akan menganalisis lebih lanjut. Adanya Revolusi Melati ini bukanlah hanya semata-mata ada, tetapi berlatar belakang karena rakyat di kawasan Timur Tengah memiliki kultur budaya yang hampir sama, yaitu bangsa Arab dan didominasi oleh kaum Muslimin yang memiliki kejayaan di masa lampau—hal ini juga yang membuat bangsa Arab memiliki rasa senasib dan sepenanggungan.
Hal lain yang saya cemati adalah
mereka sama-sama merasakan pahitnya penjajahan kolonialisme selama beberapa
dekade, meskipun pewaris generasi selanjutnya adalah kaum generasi muda. Selanjutnya
adalah pasca kemerdekaan dari kolonialisme mereka belum mengecap kemerdekaan,
artinya baik secara politik maupun ekonomi bangsa Arab belum merasakan manisnya
sebuah demokrasi. Justru para penguasa lebih cenderung kepada diktator dan
otoriter. Kondisi kemiskinan, pengangguran yang telah mengakar sejak zaman
kolonialisme, padahal kita semua tahu bahwa kekayaan kawasan Timur Tengah
sangat memiliki potensi yang besar di bidang sumber daya alam minyak. Sementara
negara-negara tetangga yang berada di kawasan Eropa telah menikmati kemakmuran
di abad ke-20.
Kekayaan alam yang ada di Timur
Tengah hanya dikelola oleh segelintir orang-orang penting yang dekat dengan
penguasa. Para kaum muda yang terpelajar, tidak bisa menggunakan ijazahnya
untuk melamar pekerjaan yang layak. Sehingga, banyak kaum muda di negara Timur
Tengah yang frustrasi akan masa depannya. Mereka yang ingin mendapatkan
pekerjaan, harus membayar uang suap untuk mendapatkan berbagai pekerjaan yang
diinginkan. Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa para penguasa Timur
Tengah tidak mampu memberikan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik bagi
rakyatnya.
Baca Juga
Peran Sastra Arab di Bumi Nusantara, HMPS Bahasadan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Adakan Webinar
Di kawasan Timur Tengah,
Undang-Undang Darurat Negara dijadikan sebagai tameng untuk melanggengkan rezim
otoriter, juga dijadikan sebagai dasar untuk memerintahkan penangkapan,
penahanan tanpa proses pengadilan terhadap mereka yang dianggap mengancam
keamanan nasional. Para penguasa yang anti kritik dengan seenaknya akan
memenjarakan siapa pun yang mengekang dan aktivis yang pro demokrasi karena hal
tersebut dianggap meresahkan kekuasaan mereka.
Bukan hanya itu saja, kebebasan pers dan menyatakan pendapat pun sangat diperketat – dengan memblokir jejaring sosial untuk menghalangi akses informasi. Namun, hal itu menjadi salah satu alasan untuk memberantas rezim karena dianggap telah memberangus informasi rakyat di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Sehingga wajar saja, ketika "pemantik api" dinyalakan, maka dengan serentak kemarahan rakyat Timur Tengah memuncak dan para penguasa pun yang menjadi sasaran untuk bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Para penguasa yang tidak dapat membawa pemerintahan ke arah yang lebih baik, menjadikan rakyat Timur Tengah geram dan mengharuskan mereka untuk menumbangkan kekuasaan rezim yang berkuasa saat itu.
Anna Zakiyyah Derajat, penulis buku "Lelaki dan Seribu Puisi di Tubuhnya dan mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ig: @annazakiyyahderajat
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan