RANA

RANA

                                                        Oleh: Eka Nurwahyuni             

 

“Aku tak pernah menghitung, berapa lama kita telah saling bercerita. Aku juga tak akan menghitung, berapa tanya dan jawab yang telah kita lontarkan.

Dua baris awal dari tulisan rapinya. Dia. Iya, dia. Entah siapa nama di balik kata dia itu. Kami bertemu tak sengaja. Saat aku pulang kuliah, terhimpit sepeda motorku, hujan turun dengan lebatnya, di waktu yang tak pantas aku  sebut pagi, ataupun siang. Dan alasan

aku terhimpit oleh sepeda motorku? Sampai sekarang aku meyakini bahwa itu kesalahanku sendiri. Tak tidur semalaman dan akhirnya kantuk berat menyapa dengan ramahnya. Dan waktu itu, jalanan terlihat sepi. Hanya suara rintikan air yang terdengar. Aku juga tak kuat mengangkat kedua bibirku, apalagi motor kesayanganku itu. Badanku lemah. Letih. Lelah. Hingga dia datang. Mencoba menaikkan sepeda motorku. Dan membantuku pindah dari jalanan yang basah oleh kemurahan hati langit dengan butiran-butiran airnya. Sampai pun aku di ruangan yang benar-benar hangat. Apakah aku tersadar saat itu? Entahlah. Sekarang pun aku bisa bercerita, apakah itu bisa dijadikan bukti kalau aku tersadar saat itu?

“Pertemuan yang tak disengaja. Dan bagiku, itu bukanlah yang pertama.

Dua larik berikutnya. Aku juga masih berpikir, apa maksud dari kalimatkalimatnya. Hati sudah tak karuan. Sudah merasakan suatu hal yang tak diingini terjadi. Tapi itu masih hipotesis awal. Toh juga, kami masih bertemu kemarin. Dan tak ada hal yang ganjil atau aneh sekalipun tentangnya. Iya, selepas aku bertemu di jalanan saat aku jatuh dari sepeda motorku, kami menjadi teman. Malah, bisa dibilang sahabat. Di sela-sela kuliahku, aku akan mengajak dia bertemu. Dan sebaliknya. Mmm, wait. Memangnya dia kuliah? Huh, hanya senyuman simpul yang dia berikan saat aku bertanya tentang itu. Tapi, juga tak menghasilkan kesimpulan apapun.

“Keganjilan mungkin menyapa pada hatimu. Disaat aku hanya tersenyum ketika kau bertanya Tentang jati diriku. Tapi kau tetap melontarkan segala kisahmu kepadaku.

Dia memang sedikit aneh. Ketika aku bertanya seputar dirinya, dia hanya tersenyum. Aku tak tahu apa alasannya. Bahkan namanya sekalipun, hingga kini aku sudah membaca ketujuh larik tulisannya aku belum tau siapa namanya. Apalagi alamat, kesibukan, keluarga, bahkan teman dekatnya. Tetapi, hatiku tak memberontak. Entah. Hatiku merespon tak ada masalah. Setidaknya, dia benar-benar pendengar setiaku. Segala kejadian yang aku alami setelah bertemu kala itu, selalu aku ceritakan kepadanya. Mulai kehabisan bensin saat berangkat kuliah, dompet tertinggal dirumah, atau bahkan aku lupa mengumpulkan tugas. Dia memang teman yang sangat baik. Inilah yang unik dari persahabatanku. Berbeda dari yang lain. Kami akrab, tapi aku tak tahu siapa namanya, rumahnya dimana, bahkan latar belakang kehidupannya. It’s so different from the others.

“Kau manis, sangat manis. Kau baik, sangat baik. Kau tak tahu latar belakangku, tapi kau tetap Percaya kepadaku.

Dia juga cantik. Cantik sekali malahan. Balutan hijabnya selalu membuatku terpesona. Jika saja aku lelaki, sudah aku lamar dari kemarin. Wajah putih nan mulusnya, pipi meronanya, lentik bulu matanya, ditambah tutur manis, sopan, dan lembutnya. Sungguh, aku sangat bersyukur dipertemukan dengannya. Andaikan dia kakakku, aduhai.. Betapa bahagianya  diriku. Tapi, nyatanya ekspetasi berhasil menang nyegerinnya dibanding realita yang ada.

 

“Maafkan aku. Segala pertemuan pasti akan ada perpisahan.

DEG! Aku juga tak akan menyangkal kalimat kedua belas itu. Iya, di setiap  pertemuan pasti akan ada perpisahan.  Mengutip dari salah satu novel karya Ira Madan, “Cahaya Cinta Pesantren” bahwa hidup adalah suatu perjalanan. Kita akan menuju ke suatu tujuan, dan yang pasti kita juga meninggalkan tempat lama yang telah kita tuju sebelumnya. Kita akan berjumpa hal yang baru, pasti kita juga akan meninggalkan  hal yang lama. Tak terkecuali dia. Dia  yang tak ku mengerti siapa namanya. Dari awal aku mendapati surat ini, hatiku sudah merasakan keanehan. Gusar. Tadi malam dia mengajak ketemuan disini. Ya, di Cafe pinggiran kota. Dan tiba-tiba saja bukan dia yang kutemui, tetapi surat ini. Perwakilan dari sosoknya.


 

“Iya, mungkin kau telah menerka jika kita akan berpisah.

Dan aku balas, benar. Hal itu benar. Andaikan dia tahu, bagaimana perasaanku saat ini. Disaat aku membaca surat darinya. Hancur? Pasti. Seakan aku adalah pohon besar nan tinggi yang tiba-tiba saja tumbang. Sedikit berlebihan memang. Tapi, apakah salah? Jika kau bertemu pribadi yang benar-benar kau sayangi dan tiba-tiba saja dia akan pergi, berpisah denganmu. Apakah kau takkan merasa tersayat sedikitpun? Jadi, jika sekarang aku menangis. Wajar bukan? Ku hapus air mata yang dengan gemulainya turun. Melewati pipiku dan ditepis oleh jilbab putihku kini. Lihat saja, sudah basah kan? Aku hanya menghapus dengan jemariku. Aku lupa jika di tasku ada tisu. Dan apa pentingnya? Sekarang yang terpenting aku sedang mendamaikan hatiku.

 

“Maaf. Membuat butiran bening  dari matamu jatuh, dan tanpa seizin darimu, merupakan hal yang salah menurutku. Tapi, tak kuasa aku.

Aku kembali membaca larik-larik aksaranya, setelah memejamkan mata sebentar dan menarik napas dalamdalam. Entah larik yang ke berapa. Tak penting juga bila aku menghitungnya. Ini

takkan ditanyakan di soal ujian akhir semester matkul matematika atau bahkan fisika sekalipun.

 

“Hari ini, aku terbang. Jauh menuju negeri seberang.

Jangan khawatirkan aku. Aku hanya akan melanjutkan studiku. Di sela-sela tangis tanpa suaraku, aku tersenyum. Setidaknya hari ini aku sudah mengetahui satu hal. Bahwa dia akan melanjutkan studinya. Hal yang penting bagiku. Sudah tahu bukan, apa alasannya? Ya, dulu dia hanya tersenyum ketika  aku bertanya, kau kuliah atau kerja?

 

“Dan aku akan beri tahu satu hal. Alasan atau argumen

mengapa aku selalu hanya tersenyum. Senyuman yang entahlah, sebagai jawaban dari semua pertanyaanmu.

Aku memejamkan mataka kembali. Tangisku mulai reda. Tapi mataku malah terasa berat jadinya. Ingin segera pulang, dan langsung masuk kamar. Hanya keinginan. Sebagian hatiku berkatlanjutkan dulu membaca suratnya

 

“Menurutmu, apakah latar belakang seseorang itu penting? Apakah perkenalan itu penting? Aku tak akan berteriak tak setuju ketika kau bilang itu semua penting. Hatiku juga berkata itu  penting. Bahkan sangat penting. Tapi.. Bercerita, berbagi kisah, tolong menolong, memahami, dan menyayangi orang lain tanpa mengerti dan justru mengabaikan latar belakang orang itu sangat asyik bukan? Nah, semoga kau bisa memahami

HEY! Iya, dia benar. Memang asyik. Lucu. Dan yang pasti ngangenin. Kita belajar akan yang namanya memahami orang lain tanpa mengenal siapa dia, di mana alamat rumahnya, bagaimana latar belakang keluarganya. Memang unik. Aku rindu dia. Padahal kemarin siang kami baru saja bertemu. Aku meletakkan suratnya sebentar. Meneguk jus jambu yang dari tadi sudah menunggu perhatianku di atas meja. Sekilas ada yang terlintas di pikiranku. Terima kasih atas pelajarannya. Pelajaran yang unik. Bahkan tak aku dapatkan di bangku sekolah dan bangku kuliah, seperti masa ini.

 

“See you again. Maaf dan terima kasih untuk pertemuan dan  ceritanya selama ini.

Rana

Dan akhirnya. Dia menyebutkan nama singkatnya. Rana. Benar-benar singkat tapi berhasil membuatku terpikat. Haha. Akhirnya aku kembali tersenyum. Selamat berjuang di negeri seberang, Na. Semoga esok kita dipertemukan kembali. Dipertemukan dengan cara-cara unikNya.Yang akan membuatku, bahkan dirimu sadar. Betapa besar kuasa-Nya dalam membuat cerita, dan kejutan.

 

Posting Komentar

0 Komentar