Menembus Batas




Oleh Hayatihamka

***
Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk dicapai,
yang ada hanya niat yang terlalu rendah untuk melangkah
***

Tidak sedikit orang mengatakan jika mimpi adalah awal seseorang meraih kesuksesan. Aku pun mempercayainya, sebab dengan mimpi setiap orang memiliki target untuk apa dan seperti apa nanti ke depannya. Dan sejak kecil, aku selalu bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek. Membangun gedung-gedung tinggi pencakar langit adalah suatu kemungkinan yang harus kubuktikan. Suatu impian yang harus kuwujudkan serta suatu kebanggaan yang ingin kupersembahkan untuk ibu dan almarhum bapak.

Bangunlah impian diri sendiri atau orang lain akan memperkerjakanmu untuk membangun impian mereka! Begitu nasehat bapak yang selalu kuingat.

Namaku Renata. Renata Putri Aditya. Usiaku delapan belas tahun dan aku seorang tuli. Aku adalah anak semata wayang dari pasangan Ani dan Tomo. Ibuku merupakan pegawai bank, sedangkan ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu akibat kecelakaan tunggal di Jalan Solo, Yogyakarta. Kini, aku hanya tinggal berdua bersama ibuku.
Aku tidak terlahir sebagai tuli. Namun, saat usiaku menginjak angka 3, aku mengalami demam tinggi dan orang tuaku salah memberi obat sehingga menyebabkan diriku menjadi tuli seperti saat ini.  

“Maafkan Ibu ya, Nak. Malam itu Ibu terlalu panik,” ujar Ibu setiap kali mengenang masa lima belas tahun yang lalu.

Menjalani hidup sebagai seorang tuli tidaklah mudah karena harus terbiasa dengan hinaan dan bullying orang-orang sekitar, baik dari tetangga maupun teman di sekolah. Aku hampir putus asa dan menyerah lantaran keadaan ini sama sekali tidak membuatku nyaman. Mereka sering mengucilkanku, mengunci diriku di kamar mandi sekolah, menggembosi ban sepedaku, bahkan sampai merobek pakaian yang saat itu tengah kukenakan. Aku sangat membencinya. Namun, aku tidak pernah berani untuk membalas.

Keberadaan ibu selalu memberiku kekuatan. Cinta ibu menjadi motivasi terbesarku untuk selalu bangkit dari keterpurukan. Hanya di atas pangkuan ibulah kepala kuletakkan seraya menangis mengingat bagaimana orang lain memperlakukan diriku dengan sangat hina dan tidak adil.

“Nak, percayalah bahwa tidak ada satu manusia pun yang hina di mata Tuhan. Jadi, kamu tidak perlu takut, karena Tuhan bisa melakukan apa saja, bahkan sampai di luar batas kemampuan makhluk-Nya.”

Ibu selalu mendidikku dengan pemahaman bahwa aku tidak berbeda dengan anak normal lainnya. Aku bisa melakukan apapun bahkan lebih. Aku pun membuktikannya. Dengan kegigihan dan kesungguhan, aku mampu menempati peringkat tiga besar setiap kali kenaikan kelas, bahkan pernah juga menjuarai beberapa kali lomba Sains antarsekolah, baik di tingkat provinsi maupun nasional.

Lalu, keadaan juga mulai berubah ketika aku bertemu dan mengenal sosok Aira, sahabatku. Dia adalah gadis berdarah Jawa-Sunda. Usianya satu tahun lebih tua diatasku. Perawakannya tinggi, putih, dan bersih. Wajahnya cantik, matanya indah, dan bulu matanya lentik. Rambutnya lurus panjang nan hitam dan dia terlihat sempurna sebagai wanita karena memiliki kesempurnaan fisik yang banyak didambakan oleh kebanyakan wanita pada umumnya.

Kesempurnaan itu ternyata tidak ada artinya sama sekali bagi Aira. Sebab kanker, membuat tubuhnya semakin hari semakin terlihat kurus dan wajah ayunya semakin hari terlihat memucat seperti tak terurus. Belum lagi rambut panjangnya yang terus rontok akibat kemoteraphy yang tengah dijalaninya. Aira mengidap kanker otak stadium lanjut. Menurut dokter, hidupnya tidak akan bertahan lama dikarenakan sel kanker yang ada di tubuhnya sudah menyebar ke seluruh bagian tubuh dan sulit untuk disembuhkan. Namun Aira tidak pernah merasa takut sama sekali, meskipun ia sadar bahwa setiap malam yang dilewati adalah hitungan mundur menjemput ajal.

 Persahabatanku dengan Aira dimulai sejak kami duduk di bangku kelas dua SMA (Sekolah Menenagah Atas). Saat itu, dia menjadi murid baru sekaligus primadona di sekolahku. Sejak pertama bertemu, aku langsung menyukainya karena dirinya tidak pernah melihat dan menganggapku berbeda. Bahkan, dia selalu melindungi dan menenangkanku dari cacian serta hinaan teman-teman di sekolah.

“Kamu jangan takut, ada aku di sini,” ujarnya seraya merangkulku yang saat itu tengah menagis di dalam kelas usai diejek oleh teman-teman kelas. Aira adalah kebahagiaanku dan hadiah terindah yang pernah Tuhan berikan.

Menjadi seorang arsitek tetaplah impian terbesar dalam hidupku. Setelah lulus SMA, aku mulai banyak mendaftar ke universitas yang memang menyediakan jurusan tersebut. Tetapi aku gagal. Aku gagal diterima menjadi seorang mahasiswa karena hampir semua kampus yang menyediakan jurusan tersebut belum membuka akses untuk mahasiswa berkebutuhan khusus sepertiku. Kegagalan tersebut membuat diriku sangat terpuruk karena  harus rela kehilangan mimpi terbesar dalam hidupku.

Tuhan, aku takut kehilangan dirinya, tolong jangan ambil dia sebelum aku mampu membahagiakannya.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku di sela-sela air mata yang mulai membanjiri pipiku.

“Bangkit dan jangan pernah menyerah. Jangan pernah takut gagal,” tegasnya kemudian memelukku dengan sangat erat.  

Aira terus menyemangatiku agar bangkit dari keterpurukan. Siang itu, dia membawakanku sebuah buku tentang kumpulan kisah inspiratif para tokoh difabel dunia. Ia tahu benar apa yang tengah aku butuhkan.

“Kamu harus banyak membaca buku tentang biografi orang-orang hebat, Re, karena dari sanalah kamu belajar banyak hal. Tentang hidup, cinta, perjuangan dan lika-liku dalam meraih impian”.

Aku memang tidak asing dengan tokoh-tokoh difabel dunia. Sebut saja, Matt Hamill, dia adalah seorang pegulat tuna rungu yang pernah menjuarai National Collegiate Wrestling Championship dan aku pernah membaca sedikit tentang kisahnya di sebuah majalah beberapa tahun yang lalu. Atau Nick Vujicic dari Australia, seorang difabel yang sejak lahir sudah tidak memiliki tangan dan juga kaki. Ia menderita Tetra-amelia Syndrom yang membuat bagian tubuh untuk bergeraknya tidak bisa tumbuh. Namun sayang, aku tidak begitu tertarik untuk menyelami kisah hidupnya dan hanya pernah melihat dirinya tampil di layar televisi beberapa waktu lalu saat ia memberikan seminar motivasi kepada banyak orang di seluruh dunia. Dan beberapa tokoh difabel lainnya seperti Anthony Robles, Tony Malendez, Stevie Wonder, dan Derek Rabelo.

Sejak kegagalanku masuk universitas, aku mulai menata kembali impianku. Mulai belajar menerima setiap kegagalan demi kegagalan dalam hidupku dan mulai bertahan dari setiap masalah yang menimpa untuk mewujudkan mimpi yang bahagia., karena aku percaya, bahwa kebahagiaan bisa dibangun dari rasa syukur pada setiap kondisi yang ada, baik susah maupun senang.

Lagi-lagi aku hanya bisa menangis di pangkuan ibu. Mengapa aku berbeda, Bu? Seketika Ibu memelukku erat. Diusapnya punggungku dengan tangan lembut miliknya yang semakin hari semakin mengeriput.

“Kamu yang terbaik. Jangan takut, di luar sana banyak hal yang masih bisa kamu lakukan dan akan mengantarkanmu menjadi orang hebat.” Sekali lagi nasehat Ibu selalu menjadi kekuatan untukku.

Dan hari itu, di saat aku sudah mulai menyerah, mulai putus asa dengan semua impianku, Aira pun kembali datang sebagai seorang sahabat yang selalu ada dan menemani. Ia datang bersama buku tebal di tangannya. Aku tidak berselera saat ia menyodorkan buku tersebut ke arahku.

“Kamu harus baca ini,” ucapnya seraya memaksa tanganku agar mau menerima buku pemberiannya. Aku menggeleng.

“Re, menyerah bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah,” ucapnya siang itu.

“Lihat aku, lihat, Meskipun dokter sudah mengatakan bahwa hidupku hanya tinggal hitungan waktu, tetapi aku tidak pernah menyerah begitu saja. Kalaupun aku memang tidak bisa sembuh, aku tetap bangga dan bahagia karena di sisa umurku, aku mampu melakukan banyak hal yang bermanfaat untuk orang lain,” tambahnya lagi. 

Kini, aku mulai banyak membaca biografi tokoh-tokoh inspiratif dunia, menyelami kisah hidupnya dan perjuangan mereka dalam mewujudkan impian. Selain itu, aku mulai mencoba banyak hal baru. Dari mengikuti kursus menjahit, membatik, melukis hingga membuat kue dan aneka makanan lainnya. Namun, dari sekian kursus serta pelatihan yang kuikuti, aku tetap jatuh hati dengan seni lukis.

Melukis dan menggambar bukanlah hal baru dalam hidupku karena saat kecil almarhum bapak sudah mengenalkan dunia itu kepadaku hingga akhirnya aku bermimpi untuk menjadi seorang arsitek. Sejak kecil, bapak banyak mengajariku tentang bagaimana menggambar gedung, rumah, tempat ibadah, dan lain sebagainya dengan baik nan apik.

Aku mulai mendalami bakatku tersebut. Dengan dibimbing oleh Bung Rusdi, seorang seniman terkenal di Yogyakarta, aku mulai melahirkan banyak karya. Bahkan, karya-karya yang kuhasilkan cukup banyak diminati orang. Aku juga banyak mengikuti pameran seni yang diadakan di kota-kota besar di Indonesia termasuk pameran seni yang diadakan di Jogja National Museum setiap tahunnya. Orang-orang mulai banyak mengenalku dan mencari tahu tentang diriku, bahkan beberapa kali aku diminta untuk menjadi narasumber di berbagai acara seminar motivasi kampus, sebuah tempat yang dulu pernah menolakku dengan hormat.

Tanpa pernah terpikirkan olehku, tiba-tiba aku mendapatkan beasiswa penuh untuk kembali melanjutkan studiku ke Paris, Perancis di bidang Seni Kreatif dan Desain. Ibu sangat senang saat pertama kali mendengar kabar tersebut, terlebih Aira. Dia tak henti-hentinya memelukku seraya menangis bahagia.

“Kamu hebat Re, aku bangga.”

Perlahan, aku mulai menembus batas impianku. Mewujudkan satu persatu mimpi serta cita-cita yang telah lama kurangkai dengan indahnya. Hingga tanpa disadari, aku berhasil menyelesaikan studiku sampai ke jenjang S3 dengan beasiswa penuh serta berhasil mendirikan rumah belajar untuk para penyandang difabel, terutama bagi mereka yang tuli sepertiku.

Dari sini dan dari kegagalan, aku belajar bahwa kesuksesan dan kebahagiaan itu memang harus diciptakan dan diniatkan. Salah satu caranya adalah dengan mengenyahkan perasaan buruk dan mengundang sebanyak mungkin pemikiran yang baik. Sebab hidup meminta kita untuk belajar mengapresiasi apa yang kita alami.

Aku beruntung dan bangga menjadi seorang tuli, sebab dengan tidak bisanya aku mendengar, aku tidak pernah memikirkan kata-kata orang yang berdampak buruk bagi masa depan dan cita-citaku. Terus melakukan apa yang bisa aku lakukan dan tidak pernah takut gagal. Oleh sebab itu, aku tidak pernah mau hanya sekedar menjadi biasa tetapi harus luar biasa sampai pada akhirnya, aku pun percaya bahwa kebahagiaan yang paling manis adalah ketika kita mampu menjadikan ketidakmungkinan menjadi mungkin.

Namaku Renata dan aku bangga menjadi diriku sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar