Menjaga‌ ‌Surga‌



Srek. Srek. Srek.

Langkah kaki itu terdengar jelas dengan angggunnya menyeberangi jembatan. Tampak bayangan hitam dari kejauhan, tak asing suaranya, mengenakan kerudung cokelat sambil menyandang tas berisi peralatan kerja. Beliau adalah Amakku. Bekerja seharian, pergi tanpa disadari matahari dan pulang saat matahari undur diri.

“Gimana kau Bujang, sudah makan?” tanya Amak. 

“Sudah Amak, Bujang la makan duo kali,” jawabku tersenyum. 

“Nah iko Amak bawakan pisang goreng kesukaan kau, makanlah!” ucap Amak sambil memberikan pisang goreng. 

“Terimakasih, Amak!” balasku gembira.

Saat masuk rumah, seperti biasanya Amak membasuh kakinya yang kotor dan pecah-pecah akibat kerja seharian. Amak selalu bekerja dengan telanjang kaki. Saat kutanyakan penyebab luka kaki Amak, alasan Amak selalu sama, "Kaki Amak ko la kebal duri, Nak,” jawab Amak tersenyum. Padahal luka itu akibat tusukan duri di ladang. Sandal Amak selalu dipinjamkan kepadaku untuk sekolah.

“Datuk cakap Surge di bawah kaki Amak. Macam mane, kalo surga Bujang rusak Amak, tepijak duri di ladang,” tanyaku pada Amak. 

Amak tetawa. “Indaklah, Bujang, surga kau masih elok asal kau rajin sembahyang dan berbuat baik. 

"Pailah Bujang ngaji ke surau! Sini amak pasangkan songkokmu!” tambah Amak.

Setahun yang lalu aku ditinggal Ayahku. Menjalani hidup hanya bersama Amak. Aku tinggal di desa Sumber Subur, Pariaman Sumatera Barat. Jelas sekali nama desaku subur, namun penduduknya kurang makmur. Bagi penduduk yang punya lahan, bekerja sebagai petani, sedang bagi mereka yang tak punya lahan, bekerja sebagai buruh tani.  Amakku juga buruh tani seperti penduduk lainnya, upah sebagai buruh tani alhamdulillah cukup untuk makan kami setiap hari.

Aku sekolah di SD anak tani siswanya bernasib sama sebagai anak tani. Status sekolah kami gratis, ruangan yang digunakan adalah bekas gudang Datuk Maringgi, tetua adat desa. Keadaan kelas begitu memprihatinkan. Tanpa ventilasi, atap, atau jendela. Hanya dinding segi empat yang catnya kusam dan papan tulis seken. Guru yang mengajar bukanlah PNS, namun relawan mahasiswa yang datang 3 kali sepekan. Jika guru tak datang, biasanya karena jalan licin akibat hujan deras . Belajar di ruang tak beratap sangat menyedihkan. Kepanasan adalah pilihan kami saat terik dan kedinginan saat hujan. 

Hari ini, 15 Agustus 2015, Kak Yos menjelaskan materi Pancasila. Satu, Ketuhanan yang Maha Esa, dua, tiga, empat dan lima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sela-sela penjelasan, Kak Yos bertanya. 

“Kamu orang nak tanye tak? Kalau ade tunjuk tangan!” 

“Aku, Kak!” Mande yang memang paling semangat mencoba bertanya. 

“Ha, ape yang nak kau tanyakan Mande?” 

“Mane boleh keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Bapangku cuma buruh je, sekolah kite macam kandang sapi pulak!” ucap Mande sambil tertawa mengejek. 

Kak Yos tertawa. “Tentu saja tidak, Mande. Sila kelima memanglah belum betul. Kitalah yang wajib mewujudkannya. Kamu orang nak jadi sukes, 'kan? Nak dapat keadilan, 'kan? Banyaklah sungguh-sungguh bukan mengeluh!” ucapan Kak Yos langsung membuat Mande mengernyitkan dahi. 

Di akhir kelas, Kak Yos memberikan kabar gembira. “Nah adek-adek, luse kite nak perayaan 17 Agustus, banyak lomba tuh di Balai Dusun. Banyak pule hadiahnye. Datang ye! Ajak kawan-kawan sedusun! Kak Yos dan Datuk Dusun la buat acara yang meriah."

Baca Juga Kemenangan yang Kalah

Sambil membayangkan keramaian dan hadiah yang ditawarkan, aku mengangkat tanganku sambil bertanya, “Kak, hadiahnyo tuh ade sandal jepit tak?” 

Kak Yos tertawa. “Jelas Ado Bujang! Sendal, tas, peci pun ade. Datanglah! Jangan lupe!”

Menunggu acara dimulai terasa sangat lama, padahal masih lusa. Hari ini kegiatan berjalan seperti biasa. Aku menunggu Amak di ujung jembatan. 

“Bujang!” panggil Amak. 

“Iyo, Amak,” jawabku singkat.  

“Sini, Bujang! Amak bawakan buah jambu kesukaan kau!” Amak tersenyum.

“Mokasih Amak, manis nian nengok bentuknyo,” jawabku sambil menerima buah jambu. 

Setelah dua gigitan mencicipi jambu pemberian Amak, aku meminta izin pergi ke Balai Dusun dengan alasan bermain. 

“Besok Bujang nak main Amak, kek budak budak lain, di Balai Dusun. Petang kelak Bujang balik Amak.” 

“Nian bujang?” tanya Amak serius.

“Nian Amak,” jawabku meyakinkan. Sengaja tak kuceritakan tujuanku. Aku ingin menghadiahkan sandal ke Amak. 

Aku, Mande, dan sahabat-sahabat lainnya bersama menuju Balai Dusun. Bendera merah putih berkibar di sepanjang kiri dan kanan jalan. Dari kejauhan terlihat banyak stand perlombaan.

“Budak-budak, ayo kumpul! Setengah jam lagi lomba nak kite mulai,” teriak panitia menggunakan pengeras suara. 

Stand-stand perlombaan mulai dikerumuni anak-anak. Di paling ujung terpampang tulisan stand makan kerupuk, di sebelahnya ada stand kelereng, di tengah ada dua pohon pinang berlumuran oli menjulang tinggi dengan gagahnya. Kak Yos terlihat sibuk di stand makan kerupuk mengenakan peluit di lehernya. Kudekati beliau sambil bertanya. “Mane kak lomba yang hadiahnye sendal jepit macam cerite kemarin?”

Sambil memegang pundakku, Kak Yos menunjuk ke arah pohon pinang yang hitam. “Kau tengok tu Bujang! Di puncak batang pinang tu ade banyak hadiah. Tas ade, peci ade, Supermi ade, sendal jepit pun ade.”

“Oh yang itu, Kak.” Sambil menelan air ludah dalam benakku mustahil aku yang kecil ini dapat memanjat pohon pinang berlumur oli itu. 

Namun, demi sandal jepit aku harus bisa menaklukkan pohon pinang itu. Kudekati Mande. 

“Mande, sini ayolah kite turut panjang pinang! Lumayan hadiahnyo,” tawarku kepada Mande.

Mande menggeleng. “Tak nak aku Bujang! Dah licin kotor pulak.”

“Ayolah Mande! Sekali je. Kau kan cakap kemarin nak keadilan sosial. Nah tengok tuh  hadiah di atas, itulah keadilan sosial!” bujukku lagi. 

“Macam mane Mande? Ade Supermi, songkok, susu, tas, kau nak tak?” tawarku meyakinkan.

“Iyo, iyo Bujang itulah keadilan sosial aku nak ikut,” angguk Mande merima tawaranku. 

“Kini kite ajak kawan-kawan lainnye, lepas tuh langsung kite panjat pinang tu. Onde mande, macam mane awak naik pohon tu,” aku mengumpat dalam hati. Kini tim kami telah lengkap. Tinggal menunggu aba-aba dari Kak Yos dengan bunyi peluitnya. 

“Priiiit... Priiiit... Priiiit...” 

Suara peluit berbunyi. Pertanda semua perlombaan dimulai. Kami mulai menyusun strategi. Bahu membahu menaiki pinang yang licin ini. 

“We, we, we, licin Bujang,” ucap Mande. 

Benar sekali. Tak seperti yang kubayangkan, pohon ini lengket dan licin. Untuk pertama kalinya kami terjatuh karena licin. Enam orang di bawahku sebelah kiri dan kanan masih bertahan. Saat menyentuh pohon licin ini kedua kalinya kami terjatuh. “Ampun Bujang, licin bana!” protes Mande.

Meski dua kali gagal, kami mencoba lagi, lagi, dan lagi. Kali ini kaki Mande yang tergelincir saat naik ke pundakku. Kami mulai kelelahan dan belum menampakkan keberhasilan. Hari mulai menjelang maghrib. Sejenak aku merenung, 'Apa aku terlalu berharap hingga aku tak sadar kemampuanku?' Mande menarikku yang sedang duduk kelelahan. 

“Ayo Bujang sedikit lagi keadilan itu tercapai!” tutur Mande menyemangatiku. 

Sambil meremas tanganku, kami mencoba sekali lagi. Perlahan namun pasti, membangun pondasi yang kokoh perlahan naik satu demi satu. Sekarang aku mulai menaiki pundak Mande. Tubuh Mande yang berkeringat hampir membuatku terjatuh. 

Aku mengumpat dalam hati, 'Hari ini aku bertaruh dengan keadaan dan tak boleh mengecewakan Amak.' Amak harus punya sandal supaya kakinya aman saat bekerja.

Di bawah terdengar sorak sorai penonton, “Ayo, ayo, ayo dikit lagi, sampai dikit lagi.” 

“Cepat Bujang!” sahut temanku yang menjadi pondasi. 

“Kami tak kuat lagi, Bujang!” Mande menimpali. 

Aku mengumpat dalam hati, 'Bersahabatlah diriku, kau bisa!' 

Aku mencoba menggapai ujung pohon pinang, sedikit lagi, sejengkal lagi. Tap!!!  Tangan kananku berhasil menyentuh ujung tiang bersamaan dengan runtuhnya pondasi kami akibat kelelahan. Sekarang giliranku yang berusaha. Kuangkat tubuhku ke atas ke tempat hadiah-hadiah itu berada.  Alhamdulillah, akhirnya aku berhasil menggapai puncak pinang ini. Sandal jepit untuk Amak sudah di depan mata.

Bergegas kumasukkan sandal jepit di depanku ke dalam celanaku. Lalu kujatuhkan beberapa hadiah lainnya untuk dibagi rata. Saat semua hadiahnya selesai kujatuhkan aku turun dengan hati berbunga. Saat kaki menyentuh tanah dan baru saja meneguk air melepas dahaga, terdengar suara. 

“Bujang, Bujang!” suara keras Datuk Dusun memanggilku, “Kau tak izin dengan Amak kau Bujang? Kau tengok tu Amak kau pusing-pusing die nyari kau. Die kire kau hilang.” Datuk Dusun marah kepadaku. 

“Aku izin Datuk, tapi lambat pulang je,” jawabku mengelak. 

“Mane ade! Kata Amak kau, kau cuma nak main, nah ini la kotor pulak!”

Baca Juga Benci Produk Asing: Onani Nasionalisme yang Usang!

“Iyo Datuk, aku salah. Lepas nih aku minta maaf ke Amak,” jawabku pelan. 

Di ujung lapangan terlihat dari raut wajahnya Amakku khawatir. Kudekati Amakku dengan tubuh yang dekil dan bau. 

“Bujang, dari mana saja kau?” tanya Amak melotot padaku. “Kau cakap nak main, ape nih hitam, kotor macam nih?” 

“Iyo, Amak, Bujang lepas ikut panjat pinang,” jawabku merasa bersalah.

 “Untuk ape Bujang? Kau tau tak, bahaye, kalau kau jatuh Amak pun yang susah!” 

“Tak ape Amak, Bujang sehat je, alhamdulillah Bujang dapat hadiah untuk Amak. Ini sandal baru untuk Amak.” Sambil haru aku menyerahkan sandal dari dalam celanaku. 

“Kau tak perlu repot-repot macam tu, Nak. Amak ko la kebal tak payah kau beri Sandal,” tolak Amak. “Amak mampu beli sendiri, Bujang untuk kau saje sandal tu.”

“Tak ape Amak, sebagai ganti sandal Amak yang Bujang pakai ke sekolah tiap hari,” tuturku sedikit memaksa. 

Sambil bergetar Amak menerima sendal jepit hasil usahaku. “Mokasih Bujang,” ucap Amak sambil memelukku. Tetesan air mata Amak membasahi pundakku yang kotor. “Amak doakan kau jadi orang besar nantinyo,” ucap Amak masih memelukku. “Lepas nih kau janji jangan panjat pinang lagi, kau cukup belajar ajo!” lanjut Amak. 

Matahari pamit lebih dulu tak sempat melihat kami pulang ke rumah. Saat melangkah aku dapat merasakan kebahagiaan Amak memakai sandal barunya. Mulai detik ini, tak akan kubiarkan duri, kerikil atau apapun itu melukai kaki Amak dan merusak surgaku. Tak ada lagi debu yang mengotori surgaku. Sebab surgaku telah dijaga sandal jepit.

Yovi Davista. Mahasiswa Bimbingan Konseling IAIN Bengkulu.

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih. 



Posting Komentar

0 Komentar