Nawal El Saadawi, Sebuah Refleksi Pemikiran Masa Depan

Nawal El Saadawi

Tepat pada 21 Maret 2021, dunia sastra kehilangan salah satu sastrawan fenomenal yaitu Nawal El Saadawi. Bagaimana tidak, seperti yang dikatakan olehnya kepada CNN pada 2011, “Kita tidak bisa berbicara soal revolusi tanpa perempuan.” Hal ini sudah sangat jelas menggambarkan sosok beliau yang sebenarnya.

Menurutnya, perempuan tidak dapat bebas dalam masyarakat patriarki yang didominasi oleh laki-laki. Itu sebabnya kita harus menghapuskannya, melawan penindasan kelas, gender dan keagamaan. Dari pemikiran beliaulah, dapat tercermin melalui karyanya seperti “Perempuan dan Seks”, “Memoar dari Penjara Perempuan”, “Perempuan dalam Budaya Patriarki” dan sebagainya.

Perjuangan beliau pun tidak hanya melalui pena tetapi juga aksi nyata yang kerap memperjuangkan hak-hak perempuan hingga beliau pernah dipenjara dan dipersekusi semasa hidupnya. Hal tersebut tampak jelas ketika tahun 1981 Nawal secara terbuka mengkritik kebijakan Presiden Anwar Sadat hingga akhirnya beliau ditangkap. Namun, akhirnya beliau dibebaskan satu bulan kemudian.

Baca Juga Ḥālatu Fatāti min Daftari Aḥwāli ‘Iyādatī : Protes Androfobia terhadap Budaya Patriarki

Selanjutnya, pada tahun 1982 beliau mendirikan Asosiasi Uni Solidaritas Perempuan (AWSA). Malangnya, untuk cabang Mesir AWSA dilarang pada tahun 1991 oleh pemerintah. Namanya muncul di daftar kematian fundamentalis setelah beliau menulis novelnya yang berjudul “Jatuhnya Sang Imam” di Kairo tahun 1987. Beliau meninggalkan negaranya, mengajar di Duke University di Durham dan Washington State University di Seattle.

Dia kembali ke Mesir pada tahun 1997 untuk terus menulis dan mengorganisir perempuan. Dari sinilah tampak jelas bahwa Nawal adalah sosok yang berpengaruh bukan hanya karena pemikirannya, tetapi tindakannya mengguncang jazirah itu karena beliau menginginkan keadilan bagi kaum perempuan.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hal yang paling menonjol dari beliau adalah karya sastra yang beliau ciptakan. Melalui karyanya beliau berusaha meruntuhkan budaya patriarki dan melepaskan belenggunya. Selain fenomenal karya beliau juga mengundang kontroversi. 

Sebut saja salah satu karya beliau “Perempuan di Titik Nol”, novelnya tersebut merupakan suatu refleksi pemaknaan seksualitas dan posisi perempuan dalam kaitannya dengan kekuasaan posisi sosial laki-laki, dalam novelnya memunculkan penokohan karakter pemberontak terhadap apa yang sudah dijalani masyarakat tentang kebebasan dan hak dari jenis kelamin perempuan.

Dalam novel tersebut, tokoh utama mencoba merekonstruksi diri dari kekuasaan tubuh perempuan yang berbeda dengan norma masyarakat dan nilai kesucian agama dalam suatu titik pembahasan mengenai privilege laki-laki dalam konteks pelacuran dan pernikahan. Menurut Nawal, seksualitas dalam norma masyarakat yang berlaku adalah privilege bagi laki-laki dalam konteks poligami.

Baca Juga Potret Perempuan Pribumi Lewat Sosok Nyai Ontosoroh

Adapun nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Nawal El Saadawi adalah sesuai realitas kehidupan dalam konteks sosial budaya masyarakat, dan ekonomi. Alasannya sangat masuk akal karena wanita akan sangat menderita apabila ekonomi suatu negara itu berantakan. Selain itu, pemikirannya akan nilai sosial juga menyadarkan bagi perempuan di Mesir bahkan di seluruh dunia.

Dalam hal ini, perempuan dituntut memiliki kesadaran penuh yang tercermin melalui pendidikan. Mengapa? Karena dengan pendidikan akan mampu mengubah kehidupan serta dapat mengubah kebijakan pemerintah yang akhirnya dapat diperjuangkan di kancah internasional. Sehingga, pemikiran Nawal El Saadawi ini sangat relevan dengan hal-hal yang terjadi pada masa kini dan masa depan.

Hal yang diperlukan saat ini dan masa depan bukan hanya keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, misalnya dalam bidang kedokteran, teknik, pertanian, dan sebagainya, tetapi juga dapat terciptanya hubungan yang harmonis dan sinergis dalam relasi gender yang adil dalam berbagai sektor kehidupan.

Hal ini dimulai dari lingkup terkecil yakni keluarga hingga lingkup terbesar yakni suatu negara. Sehingga dapat tercipta suatu program “Gender and Development”. Namun, satu yang perlu diingat yakni meski raga beliau sudah tidak ada, tetapi pemikiran, karya, daya dan upayanya tetap abadi dan terasa karena setidaknya telah menjadi langkah awal yang akan mengantarkan kepada kemajuan. 

Mifrah Disni, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Uin Sunan Kalijaga. IG: @meylistyle

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih. 

Posting Komentar

0 Komentar