KEHIDUPAN PEREMPUAN BERCADAR DI INDONESIA


Indonesia merupakan salah satu Negara yang penduduknya mayoritas beragama muslim. Meskipun demikian, menurut Clifford Geertz terutama di Jawa, masyarakatnya terdiri dari kalangan Islam yang diklasifikasi dengan sebutan priyayi, santri, dan abangan. Hal inilah yang memunculkan istilah ”Islam KTP”. Bagaimana sebenarnya kehidupan yang islami seringkali menjadi rancu melebur diantara kebudayaan turun temurun yang telah melekat sebelumnya. Diantara dalil-dalil dalam Al-Quran dan Hadist, beberapa dikontekskan dalam kacamata budaya Indonesia, akibatnya beberapa hal yang semestinya berhukum wajib menjadi ditolak karena dianggap bukan budaya Indonesia.

Jilbab, dianggap budaya Arab yang tidaksesuai dengan budaya Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan iklim tropis. Penggunaan jilbab, dilihat sebagai bentuk fanatisme sempit yang mengganggu kehidupan bernegara yang mengakui keberagaman. Hal ini yang dianggap menjadi rasionalisasi pelarangan penggunaan jilbab pada lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan komersial. Pasca reformasi, jilbab mulai mendapatkan kebebasannya sebagai identitas perempuan muslim, meskipun masih ada kontroversi mengenai pemaknaan penggunaan jilbab.

Bagi perempuan muslim, jilbab adalah kewajiban. Dengan memakai jilbab perempuan muslim dapat menutup aurat agar terlindung dari pandangan laki-laki; karena sebaik-baiknya perempuan adalah yang menutup auratnya. Sementara itu, penerimaan tentang penggunaan jilbab didukung akan adanya ikon (selebritis) dan tokoh perempuan yang berjilbab, munculnya rumah mode, juga terpaan media yang mulai memberikan ruang untuk perempuan berjilbab.

Secara perlahan kehidupan berjilbab mulai mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia, semakin banyak pula ditemui perempuanperempuan muslim yang menggunakan jilbab. Tidak hanya dalam acara keagamaan, jilbab juga digunakan dalam aktivitas sehari-hari, di ruangruang publik. Jilbab menjadi identitas baru perempuan muslim di Indonesia. Setelah melalui berbagai perkembangan yang bisa disebut sebagai proses anchoring, ada versi lanjutan dari jilbab yang dikenakan oleh kalangan perempuan muslim Indonesia yaitu cadar.
Cadar merupakan versi lanjutan dari jilbab. Pengguna cadar menambahkan penutup wajah sehingga hanya terlihat mata mereka saja, bahkan telapak tangan pun harus ditutupi. Jika berjilbab mensyaratkan pula penggunaan baju panjang, maka bercadar diikuti kebiasaan penggunaan gamis (bukan celana), rok-rok panjang dan lebar, dan biasanya seluruh aksesoris berwarna hitam atau berwarna gelap.

Namun jika jilbab bisa masuk ke dalam budaya lokal, maka cadar belum mampu menembus media massa, tempat produksi budaya-budaya populer. Justru sampai saat ini, media menampilkan cadar sebagai bagian dari indikator identitas istri teroris. Sehingga pandangan media inilah yg mendominsi carapandang masyarakat terhadap cadar. Sehingga pandangan inilah yang mendominasi pandangan masyarakat terhadap cadar.

Pada proses anchoring ini konvensionalisasi cadar belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum, karena pemahaman akan cadar masih berjarak dengan budaya setempat. Cadar masih barang asing yang menakutkan. Hal ini didukung stigma-stigma yang dikeluarkan media,diantaranya 'istri teroris', 'islam garis keras', 'islam fanatik'.

Eksklusivitas dan ketertutupan komunitas cadar juga menghambat proses sosialisasi. Belum lagi masyarakat Indonesia yang serba ingin tahu, dari pola masyarakat kolektif, melihat hal-hal yang serba tertutup membuat mereka enggan untuk berinteraksi lebih jauh. Apa yang menjadi opini masyarakat adalah cadar belum menjadi budaya muslim Indonesia.

]Memerlukan studi lebih jauh dan intensif untuk mencapai kesadaran bercadar. Cadar masih menjadi milik komunitas tertentu yang mengkhususkan diri mempelajari agama Islam. Jika kita lihat fenomena pemakaian cadar pada era modern saat ini, banyak yang menarik dari apa yang mereka tampilkan. Salah satunya, mayoritas wanita bercadar zaman now lebih berani tampil di depan kamera, aktif bermedia sosial, menggunakan baju-baju yang mencolok sehingga banyak paradigma yang mengira bahwa wanita yang bercadar zaman sekarang kebanyakan hanya ingin mengikuti trennya saja atau bahkan hanya ingin merasakan sensasi setelah memakai cadar.
Sungguh jika memang kejadian ini benar adanya, perlulah kita kembali berbenah kepada niatan awal sebelum memutuskan untuk menggunakan cadar karena ini sangat bertentangan dengan konsep keyakinan yang ada dalam diri perempuan bercadar.

Perempuan bercadar memiliki keyakinan bahwa menggunakan cadar menambahkan atribut baru dalam diri yang harus diimplementasikan ke dalam aktivitas sehari-hari yaitu ketakwaan. Perempuan bercadar memfokuskan kehidupannya untuk kehidupan sesudah mati .Dunia hanya fasilitas menuju akhirat.

Perempuan yang menggunakan cadar tidak lagi berkutat dengan kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim, tapi lebih memperkaya amalan dari sunah Rasul karena tidak semua yang bercadar ikut tergabung ke dalam jaringan terorisme atau menganut paham ekstrimis. Namun terkadang mayoritas masyarakat sudah terdoktrin kuat oleh berita-berita yang mencuat di media massa. Perempuan bercadar juga menentang terorisme sebagai aksi jihad, karena jihad bisa diwujudkan dalam bekerja, belajar dan jihad yang terbaik adalah perang terhadap hawa nafsu. Begitupun mengenai stigma tentang perempuan bercadar dengan istri teroris, mereka yakin bahwa itu hanyalah konstruksi media massa.

Media seringkali menjadi referensi utama bagi khalayak, khususnya untuk isu-isu yang sensitif dan sulit dialami secara personal. Kehidupan perempuan bercadar yang cenderung eksklusif berpotensi menimbulkan prasangka negatif terhadap mereka, sehingga menjadi komoditas baru bagi media yang berguna untuk menaikkan nilai berita.

Cadar belum pernah ditampilkan di media secara positif, sampai hari ini cadar lekat dengan stigma istri teroris dan simbol Islam garis keras, dimana di negara yang plural, fanatisme sempit dilihat sebagai ancaman. Hal ini sangatdisayangkan bagi kehidupan demokratis yangdiusung, dimana seharusnya setiap warga Negara berhak mendapatkan penghargaan terhadap pilihan religiusitasnya. Sehingga, bagi perempuan bercadar, selain harus terus memperjuangkan posisi sebagai perempuan, dia juga harus terus bertahan melawan diskriminasi terhadap pilihan bercadar mereka.

Posting Komentar

0 Komentar