Saat Kegelapan Menjadi Hal yang Indah

regenerasi, ithla 2018, unida ponorogo, mahasiswa bsa uinsuka,rakernas, dpp ithla,


             “Jangan! Jangan usir dia!”
            “Diam kau! Atau kau mau seperti dia?!”
            “Ibuuuu!!!!”
            Entah sudah ke berapa kalinya aku terbangun di tengah malam karena mimpi buruk.  Kaos oblongku basah kuyup dengan keringat. Kulirik arah jarum jam yang masih menunjukkan pukul satu dini hari. Nafasku masih terengah-engah seolah seekor anjing baru saja mengejarku, atau bisa jadi polisi. Tampaknya mata ini akan terus terjaga hingga matahari terbit. Ya, inilah aku yang hampir tiap hari mengalami kejadian seperti ini.
            Kupandangi satu  persatu foto orang-orang yang terpampang di dinding kosanku beserta catatan alamat rumah masing-masing. Beberapa telah ternodai dengan coretan spidol pertanda X. Entah sudah berapa tahun aku menjalani profesi yang hasilnya mungkin tidak halal. Menurutku, apapun yang kita dapatkan dari hasil kerja merupakan sesuatu yang pantas didapat. Pikiranku melayang,  aku tak mengerti  bisa mendapatkan pekerjaan seperti ini. Aku juga belum pernah sekalipun menemui orang tuaku. Anehnya, setiap kali aku memikirkannya, kepalaku begitu sakit. Hingga kini aku belum bisa mendapatkan jawabannya.
            “Hai Stiff! Bagaimana dengan tidurmu? Apakah mimpi itu datang lagi?”
            Namanya Zack, sudah menjadi kebiasaannya  masuk kosan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dialah orang yang pertama kali kukenal, atau mungkin tidak.
            “Ya, begitulah Zack!”  jawabku ketus.
            “Target kita kali ini seorang pengusaha yang memiliki satu anak. Pendapatannya menggiurkan” tunjuk Zack pada foto seorang wanita berusia 40 tahun.
            “Waktu kita hanya satu minggu, pagi hingga sore” tambahnya dengan senyuman licik. Aku mengangguk sebagai tanda menyetujui.
            Semua peralatan  kerja dan strategi kami siapkan pagi hari, karena jika strategi ini gagal, kami akan bersemayam di balik jeruji dingin nan pengap. Rumah bertingkat tiga menjadi sasaran kami kali ini. Terlihat begitu megah, namun tak menghalangi kami untuk bisa menerobos masuk ke dalam. Dengan berbagai strategi, kami serupa pekerja yang sudah profesional.  Tahap awal, kami  memeriksa setiap sudut ruang untuk memastikan tak ada mata yang melihat. Ini sebagai proses pemanasan bagi tubuh kami. Kemudian, kami mencari barang-barang yang dapat menghasilkan uang. Tentu tak bisa seenaknya mengambil semua barang yang kami lihat. Kami harus bisa menentukan barang mana yang hasilnya menggiurkan. Selanjutnya, kami harus menyiasati agar barang mudah dibawa dan tidak menimbulkan rasa kecurigaan para tetangga. Terkadang, kami menyamar sebagai petugas ongkir dengan membawa kardus berisikan barang-barang hasil curian itu.
            “Good job, Stiff!  Penghasilan kita kali ini lumayan” puji Zack seraya mengusap peluhnya setelah kami berhasil menginjakkan kaki di kosan. Aku pun tersenyum tipis.
            “Zack, sampai kapan kita akan bekerja seperti ini?” pertanyaanku sempat menghentikan aktivitasnya.
            “Apa kau sudah  sadar?” tanyanya menyelidik raut wajahku.
            “Sadar? Apa maksudmu?”.
            “Ah, tidak tidak. Lupakan.”
            “Sudah lama kita menjalani profesi ini, Stiff. Jika hal ini buruk, mengapa sampai saat ini kita masih bisa bernapas?” jawabnya yang membuatku sedikit yakin.
            Kunikmati indahnya malam yang berhiaskan bintang. Duduk sendiri  di depan kos seraya ditemani kopi hangat. Sesekali Raffi, Ucok, atau tetangga yang lain menyapaku. Ah, anak kos main seharian, pulang malam pun tak ada yang melarang, batinku.
            “Hei, Stiff? Apa yang terjadi denganmu? Wajahmu begitu pucat! Jangan bilang hari ini kau libur bekerja karena sakit” tanya Zack pagi hari.
            Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Penyakit dan mimpi aneh datang kembali yang membuat seisi kamarku berantakan.
            “Zack, aku lelah dengan semua ini. Mengapa sakitku  tak kunjung sembuh? Bahkan, aku tak paham kapan penyakit ini menyerangku, setiap saat kah? Apa yang kau ketahui tentang diriku Zack?” mataku berkaca-kaca karena bingung.
            “Stiff, sabarlah! Mungkin kau terlalu lelah atau kurang istirahat. Itu saja. Jangan dianggap beban. Yang ada, kepalamu makin lama akan hancur” ucapannya tak begitu memuaskan diriku.
            “stiff, jalani saja semua ini dengan santai, kau nanti akan terbiasa.Pada intinya, sekarang kau mau bekerja atau tidak?”.
            Aku diam untuk beberapa menit, mempertimbangkan semua keadaan ini. Tak berapa lama kemudian, aku menghela napas panjang.
            “Ayo” jawabku singkat.
            Aksi dimulai kembali. Seperti  biasa, dengan begitu mudahnya kami menyelinap masuk, membobol ‘benteng pertahanan’ yang terkunci.
            Sampai di dalam, kami berpencar memeriksa dan  mengambil barang yang ada pada setiap sudut ruang. Zack dapat bagian ruang depan dan lantai atas, sedangkan aku, kebagian ruang tengah dan ruang belakang. Sesekali kupandangi foto-foto yang  terpajang di dinding ruang tengah.
            Tidak! Bukan saatnya! Kenapa harus saat ini juga? Langkahku mengarah pada kamar yang terletak di belakang, tak jauh dari ruang tengah yang baru saja kulewati. Meski masih merasa sakit di kepala, kucoba membuka perlahan pintu kamar. Seseorang berbaju gamis merah kembang tampak duduk di atas kursi roda menghadap jendela kamar yang membelakangiku. Sebagian wajahnya masih dapat kulihat. Dari keriputan kulit wajahnya, aku bisa memastikan bahwa dia adalah seorang ibu yang berumur sekitar 50 tahun. Ia tak menyadari kehadiranku. Mataku menerawang ke seluruh ruangan. Foto dengan orang yang sama terpampang jelas di atas meja kamarnya.
            Mengapa ini terjadi lagi?
            Keringat mulai bercucuran. Semua yang ada di sekitarku tampak oleng sana-sini. Penglihatanku semakin tak jelas. Bruuk! Praaaangg! Tak sengaja aku menabrak vas kaca.                         “Siapa itu?” perempuan itu sepertinya menyadari  kehadiranku.
            “Harry? Kaukah itu?”. Aku tak menghiraukannya dan hanya fokus melarikan diri. Seketika itu  juga, Zack berlari menyusulku. Aku tergeletak lemas di depan salah satu ruko yang  tutup. Aku tak bisa lagi menahan rasa sakit ini.
            “Jangan! Jangan usir dia!”
             “Diam kau! Atau kau mau seperti dia? Keluar! Cepat!”
             “Ibu! Aku tidak mau.. aku tidak mau!”
            “Tidak usah banyak omong! Cepat!!”
            “Nick! Hentikan! Harry tak bersalah!”
            “Apa katamu? Tak bersalah? Gara-gara tindakannya yang ceroboh semua ini hancur!!”ARRRGGHH!!!
                  Umurku saat itu menginjak sepuluh tahun, ada begitu banyak  hadiah ulang tahun kuterima dan kebanyakan dari ayah dan ibu. Dari sekian banyak hadiah, ada satu yang paling berharga dalam hidupku. “Suatu saat nanti jika dirimu tumbuh dewasa, jadilah orang yang berguna dan selalu meringankan beban orang lain. Jangan pernah sekalipun meminta meski hanya satu rupiah”. Sebuah nasehat yang ringan.
                  Kata Ucok, salah seorang teman kosku, ia mendapatiku  tergeletak di depan sebuah ruko. Orang-orang yang melintas hanya berpikir aku seorang gelandangan. Ia bersama beberapa temannya menggotongku setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
                  “Istirahatlah sejenak, Stiff. Kau terlalu memaksakan dirimu untuk bekerja,” ucapnya saat aku berusaha bangkit dari ranjang. Bekerja? Apakah ia dan teman-temannya tahu apa yang aku kerjakan bersama Zack kerjakan selama ini? Aku bahkan tak yakin mengapa aku bisa mengkhianati semua ini, bahkan aku juga tak yakin apakah namaku benar atau tidak. Saat ini sedang terjadi kekacauan antara pikiran dan perbuatanku. Selama beberapa hari, aku terus merenung dan mencoba menyatukan puing-puing kisah masa lalu.
                  “Stiff! Ayo, gabung sini!” Raffi mengajakku ngopi malam dan  bergabung dengan lainnya
                  “Siap bro!” kataku. Tanpa basa-basi, aku langsung bergabung dengannya..
                  “Sudah lama aku tak melihat Zack. Apa kalian putus  hubungan?” tanya Ucok yang disambut tawa renyah oleh yang lain, kecuali aku.
                  Pertanyaannya seakan mengumpulkan puing ingatan yang berserak. Di mana kawan lamaku itu? Bibirku sendiri pun tak sanggup menjawabnya.
Ketika aku kembali menuju kos, aku melihat ada sesuatu yang tidak asing.
“Zack!” panggilku kencang. Orang yang kumaksud menoleh, setelah itu berlari menghindariku. “hey, Zack!”.
            “Aku yakin kau tidak akan mau berteman dengan orang sepertiku. Aku yakin sekarang atau nanti, kau akan tahu semua yang tersembunyi” katanya dengan tatapan mata  tajam.
                  “Apa yang terjadi? Bukankah selama ini diri mu selalu mendukungku?” ujarku dalam hati.
                  “Calon Wakil Bupati Ditangkap, Sang Istri ditemukan bunuh diri. Wah, mengerikan sekali” kata Raffi dengan nada keras seketika menarik perhatianku.
      Koran yang ada di tangannya buru-buru ku ambil. Huruf per huruf aku baca dengan cermat. Tidak terasa air mataku menetes. Aku merasakan perasaan yang tak biasa.
                  Beberapa hari yang lalu, aku memutuskan untuk berhenti  dari pekerjaan lamaku. Aku tidak ingin lagi mengkhianati. “Untung? Ya, aku mendapat untung banyak dari pekerjaanku. Akan tetapi, apa bedanya aku dengannya? Mungkin, akulah Sang Penjahat profesional dibandingkan dia. Apakah kenikmatan ini yang telah mampu membutakan mata dan hatinya sehingga mengakibatkan anggota keluarganya hilang? Baik Zack, aku mengerti maksudmu” Batinku. [MifNab/edt]

x

Posting Komentar

0 Komentar