Tangisan Pertiwi




Hiruk pikuk bandara membuat pagi yang sudah kacau semakin hancur. Keranjang-keranjang yang saling berderik, langkah kaki yang terburu-buru, robekan karcis, bunyi alat detektor logam, teriakan penumpang, hingga rengekan bayi, semuanya bercampur baur bak simfoni. Simfoni kusut tentunya. Entah siapa dirigennya. Aku beranjak masuk melewati serangkaian prosedur keamanan bandara, kemudian menghampiri salah satu restoran dan memesan segelas kopi hangat untuk menyegarkan suasana.

“Pertiwi? Kaukah itu?” Sebuah suara yang tidak asing menghampiri telingaku. Seorang Pria dengan tuksedo berwarna abu mengkilat, kemeja putih, dan topi putih dengan garis biru berbintang putih di dasarnya. Penampilan yang tidak pernah berubah. Penampilan yang sebenarnya dahulu hanya asal disematkan orang. Namun, dia terlihat menikmati dan jadilah itu sebagai ciri khasnya. Entah sampai kapan.

“Sam! Sebuah kejutan yang menarik. Ada apakah gerangan hingga kau menyempatkan diri melancong? Bagaimana daging-dagingmu? Sudah kau percayakan orang untuk mengelolanya?” Aku tertawa sedikit dan lebih banyak terheran atas kehadirannya di tempat penuh hiruk pikuk ini.

“Kau masih saja suka bergurau, Pertiwi. Ayolah, itu sudah berapa tahun lalu? Aku kemari dengan tujuan yang sama denganmu. Ingin melihat-lihat saja di atas sana. Aku bukan tukang daging yang dulu lagi, Pertiwi. Aku orang keren sekarang!” Sam menyombongkan diri. Tentu saja, semua tahu itu termasuk aku. Aku tahu dia adalah makhluk paling tenar sekarang. Seantero dunia bergantung padanya. Lihat saja ketika pemilu kemarin -yang sampai sekarang masih riuh- seluruh dunia menyaksikannya. 

Aku tertawa, berusaha menutupi semua keresahan yang tersimpan. “Ya, ya. Kau benar. Aku juga hendak naik ke atas. Membingungkan ratusan orang untuk kesekian kalinya. Sistem ini memang bobrok sekali, Sam. Kita harus naik ke udara dulu untuk bisa melewati portal itu. Tetapi aku masih belum paham alasan kau memilih bandara ini. Ini jauh sekali dari negaramu, Sam.”

Baca Juga : Pedagang yang Bercita-cita Bangkrut

“Mungkin ini takdir Tuhan agar kita bertemu.” Sam tertawa renyah. Diikuti oleh tawa sahutan dariku. “Omong-omong, ada gerangan apa hingga kau memutuskan untuk naik, Pertiwi? Di waktu yang bersamaan denganku pula.” Ia kembali tertawa.

“Hei, hentikan! Aku tidak menyengaja ke sini agar bertemu denganmu, ya. Aku sama denganmu, Sam. Ingin naik saja. Melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat dari bawah sini.” Aku menatap Sam, dia balas menatapku. Dia mengangkat sebelah matanya diikuti tarikan pada ujung bibirnya. Aku tahu itu adalah tatapan aku ingin jawaban sebenarnya. Aku menghela napas. Sam sungguh pembaca raut wajah yang andal. Aku mengalah.

“Baiklah, baiklah. Aku ingin rehat. Aku butuh istirahat dari semua kegilaan ini. Istirahat dari hari-hari yang semakin kacau dan manusia yang semakin gegabah.” Aku terdiam sejenak. Sam memberi isyarat untuk meneruskan cerita. Aku mengangkat kedua tanganku. Membalas isyarat dari Sam bahwa aku tidak punya cerita lanjutan. 

Sam tertawa. “Ayolah, kawan. Aku mengenalmu sudah begitu lama. Aku tahu masih ada hal lain yang tersembunyi, kan?” Ia masih merayu, mencoba menelisik tetapi gagal. Suara dari petugas bandara membuat kami harus menyudahi percakapan dan bergegas menuju pesawat. 

***

“Jiran!” Aku sedikit berteriak ketika melihat sosok di depanku. Ah iya, izinkan aku melengkapi dulu potongan cerita ini. Percakapanku dan Sam tidak sepenuhnya gagal karena ternyata kami mendapat nomor kursi yang bersebelahan. Kejutan kedua hari ini dan baru saja aku dikagetkan oleh kejutan ketiga. Aku, Jiran, dan Sam ada di pesawat yang sama dan bangku yang bersebelahan. Sepertinya Tuhan sengaja mencanangkan ini.

“Ibu Pertiwi? Paman Sam? Ah, kejutan yang menarik. Dari banyaknya pesawat di dunia, kita memilih pesawat yang sama. Dari 24 jam dalam sehari, kita juga memilih waktu yang sama. Dan ternyata nomor kursi juga tidak jauh berbeda. Menarik sekali, bukan?” Jiran tersenyum tipis. Aku mengangguk dan menduduki tempat duduk yang tersedia. Sam mengikuti. 

“Jadi, bagaimana cerita lanjutannya, Pertiwi?” Sam menggodaku. Berusaha melanjutkan topik yang barusan sudah menguap. Aku melotot. Sam sungguh mengesalkan.

“Cerita? Ada cerita apa hari ini? Berapa banyak yang aku lewatkan, hei?” Jiran ikut menelisik. Aku mendengus. Sam baru saja mendapat sekutu baru.

“Eh, jika kau menolak untuk bercerita tidak apa-apa, Pertiwi. Kami tidak bisa memaksamu. Omong-omong, aku punya topik yang lebih menarik. Ini rumor yang sudah lama beredar, tapi aku yakin kalau ini bukan rumor belaka.” Jiran terlihat menyomot sembarang topik dari langit-langit percakapan. Aku ber-yes pelan. Urusan ruwetku setidaknya tidak lagi dipertanyakan. “Ku dengar kau menamai negerimu Tanah Air. Itu benar, Pertiwi?” Pertanyaan Jiran membuatku tersedak. Ternyata topik yang mau dia bahas telah menikamku. 1-0. Pertanyaan Sam kembali dengan rupa yang berbeda.

“Tanah Air? Kau bercanda! Aku baru dengar hal itu. Apa maksudnya, Pertiwi?” Sam kembali menyeletuk. Celetukan yang sangat menyebalkan.

“Jiran, sebuah informasi. Kau baru saja membuat hidupku semakin runyam. Dengar. Aku Dewi Pertiwi. Dewi Bumi. Tuhan menciptakanku untuk menjaga lingkungan, menjaga ruh alam. Khususnya di negeri yang aku pijak. Sejak milenium pertama kedatanganku di negeri tersebut, orang-orang sangat menghormatiku. Membuatkanku sebuah lagu. Menjadikanku personifikasi bagi negerinya. Hal itu membuatku terharu, karena itu aku meneteskan air mata. Air mata bahagia.” Aku terdiam sejenak. Menarik napas.

“Lantas, hubungannya?” Sam memotong. Dasar tidak sabaran. “Kamu bisa diam tidak? Jangan potong ceritaku! Aku hanya menarik napas bukan berhenti bercerita! Kau yang dari tadi memaksaku cerita, bukan?” Aku sedikit membentak. Sam nyengir kuda sejenak dan langsung memasang wajah sok seriusnya. Aku melanjutkan cerita.

“Dari awal, aku paham betul bahwa menjaga negeri kepulauan bukanlah hal yang mudah. Terlebih, saat ini sudah ada 34 provinsi. Tetapi, aku sungguh yakin bahwa mereka penduduk negeriku akan menjaganya dengan sangat baik. Mereka adalah orang yang ramah. Mereka mengerti kebutuhan alam. Aku juga tidak segan membantu mereka menjaga alam sepanjang mereka masih menghormatiku.

Namun, ternyata keyakinanku sungguh keliru. Jangankan menghormati, Sebagian dari mereka bahkan sudah tidak mempercayaiku sekarang. Tidak percaya bahwa aku ada. Mereka merasa semua yang ada di bumi adalah hasil kerja keras manusia. Mereka sok tahu berkelana ke negeri luar, termasuk negeri kalian. Mempelajari berbagai sistem dan ilmu di sana untuk diterapkan di negeriku. Padahal kita sama sekali berbeda, bukan? Mereka tidak bisa asal dalam menerapkannya. 

Baca Juga : Warisan Orang Gila, Katanya

Berkali-kali aku berusaha mengingatkan, tapi mereka bebal. Mereka tidak percaya kata hati. Padahal yang bisa kulakukan hanyalah membisikkan ke hati-hati mereka. Orang-orang yang percaya sekarang hanya tersisa orang-orang tua saja. Orang yang tidak punya pengaruh.

Negeriku semakin rusak. Orang-orang yang berkuasa di sana baru saja mengetok palu untuk sebuah dokumen sembilan ratus halaman yang penuh kezaliman. Rakyat seperti biasa menolak. Namun mereka bisa apa? Suara yang mereka keluarkan pada saat ini tidak ada maknanya. Para penguasa itu lupa kalau dulu mereka mengemis suara kepada rakyat. Kalian lihat kan? Sombong dan tidak tahu diri bercampur menjadi satu.

Di pelosok negeri, sebuah suku tertua merengek-rengek agar kepercayaannya dipertahankan dan dihormati. Di bagian lain, seorang aktivis harus berdarah-darah demi mempertahankan kampung halaman dan keluarganya. Miris sekali, bukan?

Aku menamakannya tanah air karena dulu aku menciptakannya dengan air mata. Tanah air mata. Hal itu akan terdengar sangat menyedihkan, bukan? Maka itu aku memenggal kata ‘mata’. Orang-orang di sana mengartikannya sebagai bentuk negara kepulauan. Tanah yang penuh air. Definisi yang cukup bagus.

Melihat segala kerusakan yang ada, aku semakin yakin bahwa definisi awalku lebih tepat. Kerusakan yang ada membuatku tidak bosan menangis. Membasahi seluruh tanah yang ada. Membasahi seluruh dataran dan lautan di negeriku. Ya, begitulah. Negeriku ini cocok dinamakan ‘tanah air mata’. Mungkin suatu saat aku juga akan berganti nama menjadi Permata, bukan Pertiwi lagi.” Aku tertawa. Salah satu tawa paling menyedihkan yang pernah ada. Sam dan Jiran terdiam. Mereka sama sekali tidak bisa merasakan apa yang kurasakan. Terang saja, negerinya begitu maju dan indah. Peradaban termaju dunia ada di sana. Jiran sekilas terlihat merasa bersalah karena telah menanyakan pertanyaan yang membuatku tertawa-menangis. 

Kami semua terjebak dalam keheningan hingga portal menuju tempat rehat kami sudah terlihat. Kami bergegas merapikan barang-barang dan menghilang dari pesawat yang kami tumpangi, bersiap mengejutkan ratusan penumpang untuk kesekian kalinya, dan bersiap mengistirahatkan fisik dan psikis untuk interval waktu yang belum pasti. Dari kejauhan, sayup-sayup aku mendengar suara seorang anak yang sedang bernyanyi.

Kulihat ibu pertiwi

Sedang bersusah hati

Air matanya berlinang

Emas intannya terkenang

Hutan, gunung, sawah, lautan

Simpanan kekayaan

Kini ibu sedang lara

Merintih dan berdoa

Kulihat ibu pertiwi

Kami datang berbakti

Lihatlah, putra-putrimu

Menggembirakan ibu

Ibu, kami tetap cinta

Putramu yang setia

Menjaga harta pusaka

Untuk nusa dan bangsa


Balqis Khalisa, Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih. 


Posting Komentar

0 Komentar