“Bagaimana keadaan bapak, bu?” tanya anak sulung Sunarsih.
Suaminya, Suyatno berbaring diranjang lapuk selama berbulan-bulan lamanya. Pamitnya dahulu pergi untuk berperang dan membela tanah air, namun naas ia justru pulang dengan luka di sekujur tubuh yang mengakibatkan sakit hingga saat ini. Sudah banyak tabib yang ia bawa ke rumah untuk menyembuhkan suaminya, tapi tidak ada yang membuahkan hasil.
“Belum ada kemajuan, nak. Ibu masih berusaha mancarikan tabib terbaik.”
Sunarsih tahu betul anaknya khawatir hingga ia terus bertanya kondisi ayahnya tiap hari, ia sendiri tidak tahu harus apa karena perekonomian mereka kurang bagus untuk bisa membawa suaminya pergi berobat ke rumah sakit besar sehingga hanya bisa diobati oleh tabib-tabib desa.
“Dahulu bapakmu itu sangatlah kuat dan gagah nak,” Sunarsih membuka pembicaraan.
“Ia sangat antusias memperjuangkan negeri ini untuk merdeka karena ia tidak mau kalian merasakan penderitaan seperti yang bapak kalian rasakan. Terakhir kali ia berperang sampai membuatnya seperti ini ia belum merasakan kepuasan karena belum melihat negeri ini merdeka,” lanjutnya.
“Sebentar lagi negeri ini akan merdeka bu, saya janji akan menghadiahkan bapak kemerdekaan negeri ini selagi bapak masih hidup.” jawab anak keduanya.
“Saya janji akan segera mengusir para penjajah biadab itu”
“Besok kami izin untuk pergi berperang, bu. Tolong doakan kami berhasil!”
“Ibu selalu mendoakan kalian anak-anakku, semoga kalian pulang membawa kemerdekaan.” jawab Sunarsih yang langsung disambut pelukan hangat dari anak-anaknya. Dari lubuk hati yang paling dalam ia tentu merasa khawatir melepas anaknya pergi berperang mengingat traumanya dahulu ketika suaminya juga pergi berperang, tapi ia tahu anak-anaknya sangat berambisi dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
***
Keesokan harinya,
“Jaga diri kalian baik-baik ya nak, pulanglah dengan selamat tanpa ada kekurangan apapun berdoalah kepada Allah agar tetap terlindungi.”
“Baik bu, kami pergi, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Sunarsih kemudian pergi ke kamar membawakan bubur untuk suaminya yang masih terkulai tak berdaya.
“Pak, hari ini anak-anak kita pergi untuk berperang. Ibu harap tidak terjadi apa-apa dengan mereka, bapak pasti bangga kan melihat anak kita meneruskan perjuangan bapak dahulu? Ibu harap bapak segera sembuh sebelum anak-anak pulang dan kita bisa menyambut mereka dengan senyuman.” ucapnya diiringi tetesan air mata.
Suaminya tidak merespon apa pun, hanya melirik ke sana kemari seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu.
Sunarsih kemudian menyuapi sang suami.
***
Beberapa bulan kemudian.
Anak-anak Sunarsih akhirnya kembali dari berperang, mereka membawa kabar bahwa Jepang telah kalah dari sekutu dan warga Indonesia bersiap untuk mempersiapkan kemerdekaan.
Baca juga: Cerpen Teman Cerita - albayaanat.com
Belum sempat mereka beristirahat, panggilan hati menggerakkan mereka untuk mempersiapkan kemerdekaan. mereka akhirnya meninggalkan rumah tanpa pamit kepada Sunarsih.
Kabar kalahnya Jepang tersebar luas begitu saja sebelum Jepang mengakui kekalahannya karena rakyat Indonesia mendesak untuk merdeka.
Pada 16 Agustus golongan muda geram dan mendesak Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negeri ini, lalu mereka akhirnya memutuskan membawa Ir. Soekarno ke Rengasdengklok dan teks proklamasi pun disusun di Rengasdengklok, di rumah Djiew Kie Song. Anak-anak Sunarsih dan para pejuang di Rengasdengklok telah mengibarkan bendera merah putih, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Lalu pada malam hari, Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur dibawa ke Jakarta oleh Kunto dan Achmad Soebardjo. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (rumah Bung Karno). Lalu pada malam harinya rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Tepat pada 17 Agustus 1945, teks proklamasi yang diketik langsung oleh Sayuti Melik diproklamirkan oleh Ir. Soekarno.
Sunarsih dan keluarga yang mendengarnya melalui radio langsung bersorak gembira menyambut kemerdekaan. Perjuangan anak-anaknya yang pergi berbulan-bulan untuk berperang akhirnya terbayar juga janji kepada bapaknya. Hari ini rakyat Indonesia benar-benar dirasuki kebahagiaan dengan datangnya hari yang mereka tunggu yakni hari kemerdekaan. Berpuluh-puluh tahun bangsa ini dijajah kejam oleh penjajah biadab akhirnya bisa merasakan manisnya kebebasan tanpa penindasan.
“Pakk.. Bapakkk kita sudah merdeka, pak!” teriak Sunarsih di dalam bilik kamar memberitahu suaminya bahwa impiannya dahulu telah terwujud.
“Iyaa pak, kami telah berhasil membawa kemerdekaan kepada bapak. Ayo sembuh pak! Bukankah ini yang bapak tunggu-tunggu?” sambung anaknya.
Seperti mengetahui apa yang terjadi pagi ini, Suyatno terlihat menitikkan air mata meski tanpa suara. Ia tahu kini negeri yang ia perjuangkan bertahun-tahun lamanya telah mencapai kemerdekannya. Suyatno kemudian membuka mulutnya berusaha mengucapkan sebuah kata.
“Mer..de…ka..” lalu ia langsung tidak sadarkan diri.
Sunarsih serta anak-anaknya panik. Dan segera menuju rumah tabib yang biasa menangani bapaknya, dengan segera tabib langsung memeriksa keadaan Suyatno.
“Bu, lebih baik kita panggilkan pak Ustaz untuk menuntun bapak bersyahadat.” ucap tabib yang langsung disetujui oleh Sunarsih.
“Pak, kita sudah merdeka, sampaikan kepada kawan-kawan seperjuanganmu,” bisik Ustaz sebelum menuntun Suyatno bersyahadat.
Suyatno tersenyum, lalu bersyahadat meski terbata-bata.
Suyatno menutup mata dan disambut dengan teriakan isak tangis Sunarsih dan anak-anaknya menyaksikan sang veteran pergi meninggalkan bumi pertiwi. Tugasnya di bumi telah usai kini ia harus menghadap Ilahi.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
***
Secarik kertas ditemukan Sunarsih di balik bantal Suyatno.
“Bangsa ini harus segera merdeka, penderitaan harus segera dihentikan dengan perjuangan kita. Negeri yang hangat ini tidak layak menerima penindasan dan harus kita sejahterakan. Jika kelak negeri ini merdeka, kami para pejuang merah putih yang belum bisa memerdekakan negeri ini menitipkan tanah ini kepada kalian yang akan meneruskan kami pada masa depan, maka isilah kemerdekaan yang kami perjuangankan ini dengan bijak.”
Ternyata itu adalah surat Suyatno dan para veteran lainnya kala mereka berperang. Di antara kawan seperjuangannya, Suyatno-lah yang masih hidup dan bertahan hingga negeri ini merdeka. Dan ternyata surat itu adalah alasan ia bertahan dari sakit kerasnya hanya untuk menyaksikan kemerdekaan dan mengabarkan kepada kawan veteran lainnya setelah ia pergi.
Kiki Rizki Tumiba, Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksah. Terimakasih.
0 Komentar
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan