Teman Cerita



“Hai, Mia! Boleh aku duduk di sini?” 

“Ah Billa, mengagetkan saja, yaudah sok atuh!” 

Mia masih sibuk merapikan kamar kecilnya yang sangat berantakan. Seharian penuh waktunya ia habiskan di kampus, mengerjakan seluruh tanggung jawab sebelum akhirnya pulang dengan kamar yang masih belum berubah sejak ia tinggalkan. Cahaya redup rembulan yang masuk melalui jendela juga menambah dinginnya suasana malam itu.

“Murung banget, sih. Ada apa? Habis dimarahi ibu lagi?” tanya Billa penasaran. 

“Huft, ya begitulah. Eh iya, aku mau tanya deh, kamu masih sering main sama yang lain nggak sih? Kok kayaknya udah jarang banget liat mereka?” tanya Mia membuka percakapan.

“Kamu tahu kan kejadian malam Jumat kemarin? Sejak saat itu, warga menjadi lebih agresif dan melakukan hal-hal aneh. Aku sih nggak peduli, toh bukan aku pelakunya. Lagian, mereka bandel sih, sudah aku peringatkan berkali-kali, masih aja dilakuin. Lagi pula yang dilakukan warga juga nggak ada pengaruhnya, haha..” jelas Billa panjang lebar.

Mia hanya mengernyitkan dahinya setelah mendengar cerita temannya itu sambil terus mengambil buku-buku yang berserakan di lantai, lalu menatanya kembali di rak, dan hal itu ia lakukan sampai semua bukunya tertata rapi. Belum selesai, meja belajar masih menanti giliran untuk dirapikan.

Billa mulai merasa bosan. Ia hanya termenung menunggu Mia selesai mengerjakan pekerjaannya, dan mulai bertingkah aneh. 

“Billa, berhenti melakukan hal itu! Kalau yang lain tahu bagaimana?” tegur Mia dengan nada sedikit tinggi. 

Billa hanya tertawa dan berkata “Iya maaf. Aku dicuekin, sih. Aku datang ke sini kan mau main, eh kamu malah sibuk. Nggak sibuk sih, tapi menambah kesibukan, haha. Makanya, jadi orang jangan jorok! Capek seharian di kampus niatnya pulang buat rebahan malah masih harus beresin kamar, kan? Ya paling kalau ibu nggak marah tadi, buku-buku itu masih manis tergeletak sampai besok pagi. Atau malah bulan depan?”

Wajah Mia semakin kesal mendengar celoteh Billa yang mengejek dirinya. Mia terlalu sibuk di kampus. Menjadi wakil ketua BEM bukan tanggung jawab yang mudah, selain kewajibannya sebagai mahasiswa yang sama beratnya. Belum lagi kegiatan pagelaran seni kampus yang sebentar lagi akan diadakan. Berlembur di kampus adalah satu-satunya jalan atau dia akan membawa pekerjaan itu ke rumah dan tidak mungkin akan selesai jika dikerjakan seorang diri. Ditambah lagi tugas dari dosen yang masih menumpuk. Sebagai mahasiswa semester pertengahan tentu bukan hal yang mudah untuk mengatur waktu. Dan jelas, dosen tidak akan menerima alasan apapun untuk tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Yang pasti, posisi Mia sedang genting. 

“Akhirnya selesai juga,” celetuk Mia lega. 

“Sudah nih. Mau cerita apa?” sambungnya sambil menengok ke arah Billa.

“Yakin? Lemari baju masih berantakan, tuh!” tanya Billa menunjuk ke arah lemari yang masih belum tersentuh.

“Ah, lupakan. Besok lagi aja, capek. Yaudah cepetan, apa?” tanya Mia lagi. 

“Hihi, aku bawa sesuatu untukmu. Tadaaa,” jawab Billa sambil mengeluarkan sebuah kotak. 

“Ini apa, Bil?” tanya Mia penasaran.

Kotak kayu itu kini sudah berpindah ke tangan Mia. Ukurannya tidak lebih besar dari tempat pensil anak TK dengan tali sebagai pengaitnya. Warna coklatnya sudah lusuh. Debu dan sedikit bekas sarang laba-laba menghiasi tampilan kotak. Ukirannya yang khas memperkuat sejarah yang tersimpan di dalamnya.  

Belum sempat terbuka sempurna, Billa justru menahannya dan berkata “Kalau sudah tahu isinya, jangan sedih ya. Aku nggak mau kamu sedih setelah membuka kotak ini. Aku hanya bermaksud memberitahumu sesuatu. Aku harap kau bisa memahami.”

“Bagaimana? Sudah boleh kubuka?” tanya Mia.

“Iya, sok mangga!” jawab Billa mempersilakan Mia membuka kotak tersebut.

Perlahan Mia membuka kotak tua itu. Didapatinya selembar foto hitam putih bergambar anak perempuan dengan rambut dikepang dua sedang digandeng seorang wanita muda berbaju selutut dengan latar rumah berarsitektur khas Belanda. Wanita di foto itu terlihat sangat bahagia. Pun dengan anak perempuan yang digandengnya, sepertinya anak itu berusia lima tahunan. Di kotak itu juga terdapat sepasang gelang kayu dengan hiasan berbentuk hati yang terlihat sudah berumur sangat tua. Dan selembar foto pria berpakaian khas tentara Belanda yang juga hitam putih. Mia memperhatikannya dengan seksama tanpa bergeming.

“Kau tahu, Mia? Pria itu adalah ayahku. Beliau seorang tentara Belanda yang terlibat dalam perang dunia. Sampai saat ini, jasadnya tidak pernah diketahui di mana letaknya. Dan wanita itu adalah ibuku yang menggandeng diriku saat berumur lima tahun. Foto itu diambil sesaat sebelum ayah ditugaskan dalam perang. Ayah sengaja mengambil gambar kami, sebagai kenangan katanya. Dan benar, sejak saat itu ayah tidak pernah kembali.”

Mia semakin tak kuasa menahan sedih dan menangis sejadi-jadinya.

“Sepeninggalan ayah, aku dan ibu ikut kapal menuju tanah Hindia Belanda. Sejak saat itu aku berjanji akan terus menjaga kotak ini sampai kapan pun itu. Sampai ketika rumahku dibakar oleh tentara Bandung dan menghabisi kami. Beruntung aku bertemu denganmu yang mau menjadi temanku. Aku sungguh sangat berterima kasih padamu, Mia”, jelas Billa yang kemudian menggapai tangan Mia. 

Namun ia sadar, tangannya menembus tangan Mia. 

Setelah mendengar cerita Billa, masih dengan mata yang sembab, Mia bertanya, “Kenapa nggak pernah cerita hal itu?”

Billa hanya menjawabnya dengan senyuman.

Ia tak pernah menyangka jika teman ceritanya sejak kecil itu punya kisah yang sangat menyedihkan. Yang ia tahu hanya Billa adalah teman yang sangat menyenangkan. Yang selalu ada ketika Mia ingin berkeluh kesah. Kejadian hari itu pasti sangat menyedihkan bagi Billa.

“Mia, udahan ya nangisnya? Aku nggak mau lihat kamu nangis lagi. Aku mau kamu…”

“Miaaaaa! Ya ampun, Mia. Bangun! Sudah siang ini!” teriakan Kak Alan mengagetkan Mia dan membangunkannya.

“Hei, bangun! Mengigau ya? Tidur kok nangis-nangis. Tuh, lihat! Ponselmu sudah dipenuhi panggilan dari teman-temanmu. Kamu bilang hari ini ada rapat untuk kegiatan pagelaran seni kampus, kan? Itu teman-temanmu sudah menunggu wakil ketua BEM-nya hadir. Ini lagi, kamar apa gudang berantakan begini? Habis dimarahi ibu semalam bukannya langsung diberesin malah tidur,” celoteh Kak Alan sontak mengagetkan Mia yang masih setengah sadar dengan mata sembab seperti habis menangis.

“Ha? Jam berapa ini, kak? Astaga, kamar mandi kosong, nggak? Aku udah kesiangan ini,” tanya Mia sambil terburu-buru menyambar handuk yang bertengger di kursi belajarnya dan segera berlari menuju kamar mandi.

“Mia, Mia...sibuk betul dirimu, dek. Hadeh, betah banget dia hidup di kamar berantakan kayak gini,” gumam Kak Alan melihat tingkah adik perempuan satu-satunya itu dan keadaan kamar yang sangat tidak karuan.

Ketika merapikan kasur Mia, tanpa sengaja Kak Alan menemukan sebuah kotak kayu tua lusuh di bawah selimut Mia. Karena penasaran, Kak Alan membuka kotak tersebut. Dia mendapati dua lembar foto tua dan sepasang gelang kayu dengan hiasan berbentuk hati di dalamnya. Juga sebuah surat dari kertas coklat bertuliskan:

Mia, terima kasih sudah menjadi teman baikku selama ini. Aku titip kotak ini padamu. Maaf, aku harus pamit. Tugasku sudah selesai dan aku harus segera kembali. Aku harap kamu dapat menemukan teman cerita yang lebih baik dariku, yang bersedia menampung semua keluh kesahmu. Jaga dirimu baik-baik, Mia. 

Dari temanmu,

Abelia Margaretha


Sofie Rachmawati, Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ig: @sofierachma_

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tertulis, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter  albayaanaat.com  sebagai media keilmuan mahasiswa bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Kirimkan tulisan Anda ke email redaksi  albayaanat.uinsuka@gmail.com  dengan melampirkan biodata pribadi dan nomor telepon yang dapat dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik submit valid . Terima kasih. 


Posting Komentar

0 Komentar