Berdamai dengan Sunyi

 Mutiara Imania Mediana, Mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sepasang mata milikku tak ingin beranjak, seolah terpaut pada lukisan-lukisan indah milik Niara Kamelia yang tergantung di dinding pameran megah bersama karya-karya pelukis kondang maupun pendatang baru tanah air. “Berdamai dengan Sunyi” judul salah satu lukisan itu. Sebuah lukisan yang dilukis dengan menggunakan cat akrilik, menampilkan siluet samping seorang gadis yang sedang berjongkok, tampak seperti tersenyum sembari menutupi kedua telinganya dengan latar belakang abstrak.

Tak terasa air mata mulai mengalir di pipiku, namun tiba-tiba bahuku ditepuk oleh sang pemilik lukisan yang ternyata sudah memperhatikan dari tadi. Langsung kupeluk erat tubuh adikku itu. Aku menumpahkan seluruh tangisku dalam pelukannya. Setelah tangisan mulai reda, kuurai pelukan kami, kulihat Niara tersenyum dan mulai menggerakan tangannya, merangkai kata demi kata indah berisi ucapan terima kasih atas segala dukungan yang aku berikan padanya.

“Niara ingin menunjukan ini pada kakak, bahwa Niara bisa mewujudkan mimpi Niara. Jadi kakak tidak boleh masih menyimpan rasa bersalah itu.” Melihat kata-kata yang tergambar dari gerakan tangannya membuatku dejavu, seakan membawaku ke masa lima tahun yang lalu.

....

Mataku melotot melihat tulisan di layar laptop, kucubit pipi dengan kencang memastikan kalau ini bukan mimpi. Aku lolos jalur undangan di kampus dan jurusan yang kuimpikan, hati ini senang bukan kepalang, namun rasa senang itu segera sirna tergantikan oleh rasa bimbang. Lalu bagaimana dengan Niara? Kalau kuambil kuliah ini artinya aku harus berjauhan dengannya, sebab kampus impian Niara tidak berada di kota yang sama denganku.

Selama ini kita tidak pernah berpisah, kita selalu bersekolah di tempat yang sama, dari TK sampai SMA. Orang tua kami selalu berusaha mencari sekolah inklusif yang bisa menerima Niara bersekolah di sekolah umum, namun tentunya yang memiliki fasilitas memadai untuk dia dan para difabel lain belajar. Ayah dan ibu tidak pernah memaksaku harus masuk kampus apa atau jurusan apa, tapi aku tau harapan mereka adalah aku bisa satu tempat dengan Niara, agar bisa menjaganya dan ada kalau sewaktu-waktu ia menghadapi kesulitan.

Niara sebenarnya bukan sosok yang manja, ia bahkan menjadi murid berprestasi berkat kemampuan melukisnya, ia juga punya beberapa teman yang kelihatannya sangat akrab. Bahasa isyarat tidak menghalanginya berkomunikasi dan bersosialisasi baik dengan teman sesama tuli ataupun dengan teman dengar yang belajar bahasa isyarat. Walaupun tidak ada kendala dalam berkomunikasi, namun dengan kondisinya yang sulit untuk menerima informasi, Niara masih harus berusaha keras untuk memahami pelajaran di sekolah umum dengan mata pelajaran yang banyak dan tingkat materi yang sulit, apalagi menjelang UN dan ujian masuk ke sekolah tinggi nantinya. Akulah yang biasa membantu Niara mengulang pelajaran di rumah, terutama pelajaran yang sulit seperti matematika.

Di ruang keluarga kami pun berdiskusi, aku, Niara, Bapak, dan Ibu.

“Apa yang membuatmu ragu?” Tanya bapak membuka diskusi kami malam itu.

Aku hanya terdiam, mencoba merangkai kalimat yang pas di kepala.

Bapak melanjutkan kalimatnya seolah paham isi kepalaku, “Bapak dan ibu hanya berharap kamu bisa kuliah di kota ini dan sekolah bersama dengan Niara, bukan berati kamu wajib mengikutinya, dan bukan berarti jika kamu punya pilihan lain tidak akan kami dukung.”

“Lalu bagaimana dengan Niara? Berat rasanya untuk jauh dari Niara, apalagi tahun depan dia harus persiapan ujian masuk perguruan tinggi, siapa yang bantu dia belajar nanti?” Jawabku.

“Memangnya aku kenapa?” tanya Niara.

“Kakak sudah bertanggung jawab menjaga dan membantu Niara belajar dari SD sampai sekarang, Niara berterimakasih karena berkat kakak hidup rasanya jadi jauh lebih mudah, tapi bukan berarti Niara tidak bisa hidup tanpa kakak. Kakak punya mimpi, kejarlah! Aku juga punya mimpi, biar kukejar dengan usahaku sendiri. Kakak tidak percaya Niara bisa?” Lanjutnya sambil menatap manik mataku.

“Bukan begitu maksud kakak!”

Seketika gambaran kejadian itu muncul lagi di kepalaku, saat aku mengajari Niara yang kala itu masih kelas 5 SD mengendarai motor. Niara yang tau kalau aku diam-diam belajar mengendarai motor bersama dengan teman-temanku, memintaku untuk mengajarinya, karena tentu saja jika minta bapak atau ibu tidak akan mengizinkannya sampai umur kami 17 tahun. Tak pernah terlintas di benakku bahwa kenakalan kami saat itu akan menjadi mala petaka bagi Niara. Saat aku lengah, Niara menabrak saung kecil yang sudah reot hingga roboh dan atapnya jatuh menimpanya.

Baca juga: Jokpin Hadir Lagi dengan Kumpulan Kisahnya yang Jenaka dan Sederhana (albayaanaat.com)

Kejadian itulah yang merenggut pendengaran Niara untuk selamanya. Masih terbayang raut wajah bapak dan ibu yang menangis sejadi-jadinya, dan masa-masa di mana Niara dan keluarga kecil kami harus belajar beradaptasi dan menerima kondisi ini. Walau tak pernah menampakkan rasa putus asanya, namun aku tau kalau Niara terkadang diam-diam menangis di kamar mandi saat tengah malam. Bapak dan Ibu pun begitu. Kami semua tersakiti karena kejadian itu, tapi selalu berusaha tampak baik-baik saja.

.....

Niara menepuk pundakku, mengusir lamunan.

“Lalu apa? Jangan bilang kakak masih merasa bersalah dengan kejadian beberapa tahun yang lalu.”

“Kalau saja waktu itu kakak tidak mau mengajarimu naik motor...”

“Kak,” Niara memotong kalimatku.

Niara sudah ikhlas, sudah berdamai dengan kesunyian di hidup ini. Tidak akan ada yang berubah andaipun kakak bisa mengulang waktu, ini sudah menjadi suratan takdir Niara dan tidak ada yang perlu disalahkan akan kejadian itu. Jadi Niara juga minta kakak untuk ikhlas, hilangkan semua rasa bersalah kakak.”

Obrolan malam itu diakhiri dengan air mata kami berempat.

....

“Kak!” Niara menepuk bahuku.

“Kebiasaan deh suka melamun. Ayo kita foto dulu, nanti kita kirim ke ibu dan bapak.

Aku menganggukkan kepala, tanda setuju. Senyum bangga dan bahagia merekah di wajahku. Niara telah berhasil membuktikan padaku bahwa tidak ada yang bisa menghalanginya meraih mimpinya, termasuk kondisinya.

Niara adikku telah tumbuh dengan indah, walaupun suara direnggut dari dunianya, tapi ia dianugerahi hati yang lapang dan semangat yang lebih kuat dari orang lain. Ya, dia telah berdamai dengan sunyi. 

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerima kasih.

Posting Komentar

0 Komentar