TINDAK TUTUR PENGUNGKAP IMPLIKATUR DALAM WACANA PROPAGANDA POLITIK



Ilustrasi gambar: www.kajianpustaka.com

Oleh: Anna Zakiah Derajat

Maraknya penggunaan media sosial bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak tahun 2012, ketertarikan masyarakat terhadap media sosial semakin meningkat. Pada awalnya media sosial hanya dijadikan sebagai media untuk bersosialisasi dengan teman dan kerabat dekat, namun belakangan ini partai politik dan kandidatnya mulai melirik media sosial sebagai suatu alat untuk berinteraksi dengan konstituennya, bahkan menjelang pemilu partai politik gencar melakukan kampanye melalui media sosial. Kampanye pada dasarnya adalah penyampaian pesan-pesan dari pengirim kepada khalayak, baik berupa poster, spanduk, baliho, pidato, reklame dan lain sebagainya.


Dalam dunia politik bahasa juga merupakan peranan yang sangat penting. Bahasa dalam ranah politik diarahkan untuk tercapainya tujuan politik yaitu memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Seperti yang kita ketahui bahwa proses politik merupakan praktik komunikasi, bagaimana mendayagunakan bahasa sebagai alat komunikasi politik yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Menurut Panggabean (Santoso, 2003:4) mengatakan bahwa tokoh-tokoh politik mempergunakan bahasa bukan hanya untuk menyatakan pendapatnya melainkan untuk menyembunyikannya juga. Hal ini karena di balik kepentingan-kepentingan tersebut ada yang harus dipertahankan. Maka dari itu untuk menyembunyikan pikiran politik, bahasa politik harus ditata sedemikian rupa karena dalam struktur linguistiknya penuh dengan muatan kekuasaan yang tersembunyi.

Masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi membuat tindak tutur dalam kampanye pun bermacam-macam sesuai dengan konteks daerahnya masing-masing. Menurut Wardaugh (1986:26) mengatakan bahwa bahasa yang digunakan selalu menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar belakang sosial budaya penuturnya. Kalimat yang bervariasi itu digunakan sebagai wacana  propaganda politik untuk mengambil simpati massa. John R Searle (1983) membagi praktik penggunaan bahasa menjadi tiga macam, yaitu:

Pertama, Tindak Lokusioner—tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Dalam tindak ini, tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan  oleh si penutur. Tindak tutur demikian hanya dimaksudkan untuk memberi tahu penutur, dan semua wacana kampanye politik merupakan tindak lokusi. 
           
Kedua, Tindak Ilokusioner—tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat bukan dimaksudkan untuk memberitahu petutur saja tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan. Jika dalam kampanye politik tindakan ini digunakan untuk menyampaikan informasi dan menginginkan mitra tutur melakukan sesuatu yaitu memilihnya. 
         
Ketiga, Tindak Perlokusioner—digunakan sebagai upaya menarik simpati masyarakat. Tindak perlukosioner adalah tindak menumbuhkan pengaruh pada mitra tutur atau efek bagi pendengarnya. 

Selain tiga hal di atas, bahasa juga memiliki peranan dominan dalam politik, karena retorika politik juga mengandalkan piranti kebahasaan seperti aliterasi, pengulangan, paralelisme, dan metafora. Retorika yang tak lepas dari ungkapan-ungkapan yang ekspresif dan puitis untuk menjadi lebih menarik, selain menggunakan judul, memanfaatkan generalisasi, pola-pola kutipan, dan overleksikalisasi. Bahasa mempunyai kekuatan untuk menjelaskan maksud dan keinginan orang yang menggunakannya. Seorang calon presiden dalam pidato kampanyenya menggunakan ideograf atau kata-kata menarik dengan berbentuk janji-janji manis di hadapan konstituennya. Dengan mengatakan bahwa kelak apabila dia menjadi seorang presiden akan menegakkan demokrasi, memberantas korupsi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2002 memberi batasan definisi ideograf sebagai lambang atau  simbol yang merupakan gambaran pikiran atau angan-angan. Sedangkan menurut Kweldu (2008), mengatakan bahwa ideograf merupakan alat yang digunakan oleh seorang politisi untuk mendukung kebijakan atau stabilitas politik, sosial dan kultural. Di sini Bahasa Indonesia telah menjadi kehidupan politik di Indonesia, khususnya di kalangan elit politik dan birokrasi pemerintahan. Politisasi bahasa ini dapat berbentuk adanya pembakuan bahasa, penginstitusian bahasa, dan penggunaan jargon-jargon politik. 
               
Dari dua hal tersebut—ideogra dan politisasi bahasa, ada hal lain yang memang berkesinambungan di antaranya yaitu rekayasa bahasa. Rekayasa bahasa sulit untuk dihindari karena sesungguhnya manusia adalah zoon politicon. Dengan demikian bukan sesuatu yang
aneh bila dalam kehidupan ini terjadi rekayasa bahasa. Rekayasa bahasa ini sesungguhnya memiliki tujuan yang tulus yaitu terwujudnya kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, rasa aman, harmoni, dan demokrasi. Namun pada realitasnya saat ini, para politisi hanya menebarkan janji-janji manis tanpa ada kerja nyata untuk memakmurkan rakyatnya dengan maksimal.

Maka dari itu, penguasaan  komunikasi publik dan bahasa sangatlah diperlukan pada masa modern ini. Tanpa kita sadari, semakin dekatnya pemilu semakin gencar pula para politisi mengampanyekan partai politiknya dengan berbagai hal menarik di media sosial. Karena seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia sangat aktif menggunakan media sosial untuk memenuhi kehidupannya.

Posting Komentar

0 Komentar