Angka Covid-19 di Indonesia Turun Drastis, Sembuh atau Lengah?


Pandemi Covid-19 sejak kemunculannya pada awal tahun 2020—yang seolah menjadi benalu—telah melewati puncak ledakannya pada akhir Juli 2021 lalu di Indonesia dengan angka kasus mencapai 574.135 jiwa. Berbagai upaya pemerintah dalam penanggulangan kasus tersebut gencar dicanangkan dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Vaksinasi, hingga pemberlakuan PPKM terus-menerus diberlakukan. Masyarakat dihimbau untuk hidup sehat dan meningkatkan imunitas tubuh walau kegiatan mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga dibatasi dengan aturan-aturan yang ada. Mau tidak mau, masyarakat harus mematuhinya demi kebaikan bersama.

Berawal dari keterpaksaan, upaya tersebut tampaknya berbuah cukup manis. Pada 11 Agustus 2021, tercatat sebanyak 426.000 kasus aktif Covid-19. Penurunan yang cukup signifikan dalam hitungan hari. Bahkan pada 26 September, tersisa 42.769 kasus yang masih aktif sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Satgas Covid-19 PB IDI, Prof. Zubairi Djoerban melalui cuitan  di akun twitternya. Hal ini merupakan kabar yang menggembirakan sekaligus mencengangkan. Bagaimana bisa pandemi yang mulanya dikabarkan sangat menakutkan dan telah menghapus jutaan populasi manusia di seluruh dunia bisa menurun drastis di Indonesia hanya dalam hitungan hari?

Jika menilik dari kesungguhan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan, vaksinasi, dan PPKM, hal itu sangat mungkin terjadi. Dengan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah, masyarakat sedikit banyak telah teredukasi dan mulai terbiasa menjalani pola hidup yang lebih sehat. Mengonsumsi hasil kebun sendiri, berjemur di pagi hari, serta berolahraga mulai menjadi kebiasaan masyarakat saat ini. Para pelaku usaha juga membatasi kegiatan usahanya hingga pukul 20.00 untuk menghindari kerumunan. Akan tetapi, mengenai vaksinasi hingga 13 September baru mencapai skala 17,8% di Tanah Air agaknya belum sepadan dengan turunnya angka kasus positif Covid-19. Lantas, apa faktor lain yang turut andil dalam kasus ini?

Baca juga: Literasi Membangun Negeri

Melihat dari kacamata masyarakat, kepercayaan mereka tentang pandemi Covid-19 ini dapat diasumsikan berbanding 50:50. Kuadran pertama dari mereka sangat khawatir dan menganggapnya sangat menakutkan, akan tetapi kuadran lain berpandangan bahwa para korban covid adalah orang-orang yang termakan oleh ketakutannya sendiri. Masyarakat dituntut untuk meningkatkan imunitas tubuh, tetapi hiburan di rumah seperti televisi setiap hari hanya menayangkan berita pandemi beserta korban-korbannya. Tanpa disadari, penayangan berita semacam ini secara terus-menerus akan menimbulkan paradoks dalam masyarakat luas.

Menyikapi hal-hal seperti itu, orang-orang di kuadran dua lebih memilih tidak menonton televisi dan menjalani aktivitas kesehariannya dengan normal. Mereka yang jenuh dengan pandemi yang digembor-gemborkan sehingga membuat manusia menggila dan hilang rasa kemanusiaannya akhirnya memilih untuk bersikap biasa saja, bahkan beberapa orang terkesan abai. 

Tidak sedikit dari mereka yang terinfeksi bukannya merujuk ke dokter atau rumah sakit malah memilih untuk merawat diri di rumah. Hal ini dilakukan agar tidak mendapatkan vonis yang aneh dari tenaga kesehatan. Seperti diketahui banyak sekali bertebaran isu-isu tidak jelas seputar pandemi yang meluas di kalangan masyarakat, khususnya di media sosial.

 Akhirnya, banyak masyarakat yang memilih perawatan mandiri di rumah bersama keluarga, sehingga bukan tidak mungkin tubuh akan membentuk self imunity dan sembuh. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat desa, terlebih karena wilayah mereka yang masih pelosok dan belum terjamah program vaksinasi. 

Baca juga: Kabar Rindu

Dokter Ayman Alatas menyampaikan pendapatnya sebagai tenaga kesehatan dalam video edukasi yang diunggah melalui platform TikTok, bahwa fenomena masyarakat yang enggan untuk memeriksakan diri ke dokter ketika merasa sakit atau terinfeksi, justru memilih untuk mengobati sendiri di rumah mampu menciptakan herd immunity secara alami.

Pada akhir September pemerintah  memberi izin diperbolehkannya penyelenggaraan konser dan  acara pernikahan dalam skala besar. Padahal, hal tersebut berisiko untuk meningkatkan kembali angka kasus Covid-19 yang sudah turun jauh sejak bulan Juli lalu. Walaupun begitu, konser dan acara pernikahan yang digelar tetap harus mematuhi protokol kesehatan.  Meski bisa diasumsikan bahwa Indonesia sudah di ambang kesembuhan, kita tidak boleh lengah dalam menghadapi pandemi ini.

Sudah divaksin dua kalipun bukan jaminan tidak akan terpapar Covid-19 atau kebal akan virus tersebut. Ketika seseorang terpapar Covid-19 dalam keadaan sudah divaksin, gejala yang ditimbulkan tidak akan separah sebelum divaksin. Singkatnya, vaksinasi dapat mengurangi efek sakit atau gejala yang ditimbulkan dari Covid-19. Selain itu, kita juga tetap harus menerapkan pola hidup sehat sebab kesehatan itu mahal harganya. Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati?

Qoyumul Fajar, Hidayati Harriani. Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tertulis, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter  albayaanaat.com  sebagai media keilmuan mahasiswa bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Kirimkan tulisan Anda ke email redaksi  albayaanat.uinsuka@gmail.com  dengan melampirkan biodata pribadi dan nomor telepon yang dapat dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik submit valid . Terima kasih. 

 


Posting Komentar

0 Komentar