Islam, Otoriterianisme, dan Ketertingalan: Menanti Seorang Imam Yang Tercerahkan



Judul               : Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan

Judul Asli        : Islam, Authoritarianism, and Undevepelopment: A Global and Historical Comparison

Penerbit          : KPG

Penulis            : Ahmet T. Kuru

Tebal               : xviii + 498 Halaman

Cetakan          : Pertama, Desember 2020

ISBN                : 978-602-481-518-9 (PDF)


          Dalam dunia akademis, tokoh-tokoh yang menjadi rujukan biasanya berasal dari Barat. Adapun yang berasal dari Timur Tengah atau negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim jarang sekali ditemui, kecuali dari abad 8 hingga 12. Nama-nama tersebut adalah Ibnu Sina, al-Farabi, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dua tahun kemudian, dan lain sebagainya. Pada masa-masa tersebut, tokoh-tokoh barat sedikit sekali terdengar gaungnya. Setelah Ibnu Khaldun (m. 1406) di bidang sejarah, Ali Qushci (m. 1474) di bidang astronomi, at-Taftazani (m. 1390) dan al-Jurjani (m. 1414) di bidang teologi, dunia Muslim sedikit sekali menghasilkan sarjana yang setingkat dengan mereka. Atau dalam kalimat Bernard Lewis: gerbang inovasi yurisprudensi tertutup dan upaya intelektual dalam inovasi hukum terhenti (Lewis, 2011:8).

          Mulai abad 11 hingga abad 12 dan seterusnya, angin kejayaan berhembus ke Barat, Eropa Barat tepatnya. Lukisan Mona Lisa, desain arsitektur Katedral Santa Maria del Fiore, hingga literatur Shakespeare merupakan saksi bisu kebangkitan tanah Barat. Tidak hanya dunia seni dan budaya, dimensi pengetahuan sains, filsafat, dan sosial-ekonomi pun turut berkembang. Sedangkan di belahan dunia lain, perihal melanggengkan kekuasan dan pengebirian kebebasan berpikir yang berujung pada darah berlangsung seperti kesurupan. Yang sebelumnya berjaya, kini tertinggal. 

          Pembacaan soal ketertinggalan negara muslim ini sudah digelar sejak abad 14 oleh Ibnu Khaldun, dan seabad setelahnya oleh Jalaluddin Suyuthi melalui Tarikh al-Khulafa. Tak hanya pemikir muslim, tokoh-tokoh orientalis dengan kerangka berpikir Barat mereka pun ikut mewarnai diskusi ini. Nama Edward Said melalui sedikit singgungannya soal aspek historis Islam tentu tidak bisa dipinggirkan. Hingga kini, ketertinggalan yang masih terus dinikmati menggoda beberapa sarjana di awal abad 20 untuk turut mempertanyakan kembali sebab-musababnya.

          Ahmet T Kuru, dalam buku ini, mengatakan paling tidak ada dua pendekatan yang umum digunakan dalam mengkaji sebab-sebab ketertinggalan negara-negara Muslim. Pertama, pendekatan esensialis. Bahwa Islam itu sendiri bermasalah dan tidak mampu menjawab polemik-polemik yang dihadapinya pasca masa kenabian, seperti dalam kompleksitas hubungan Islam dengan negara. Salah satu tokoh muslim, Syakib Arsalan, memandang bahwa akar munculnya pendekatan esensialis karena ada masyarakat muslim yang memosisikan Islam sebagai agama akhirat saja, padahal Islam adalah agama dunia dan akhirat. Kedua, pendekatan pos-kolonialis. Pendekatan ini mengasumsikan praktek-praktek kolonial barat yang berlangsung di abad 17 hingga pecahnya perang dunia bertanggung jawab atas ketertinggalan negara muslim. 

          Kedua pendekatan ini ditolak Kuru. Sebagai kontra esensialis, Kuru membeberkan fakta bahwa Islam di abad 8 hingga 12 pernah menunjukkan pencapaian filsafat dan ekonomi yang unggul. Yang artinya tidak ada permasalahan atau kemunduran yang berangkat dari esensial Islam. Penolakan kedua Kuru, yaitu untuk penganut pendekatan pos-kolonialis dalam hal ini, adalah fakta bahwa negara Muslim sudah gonjang-ganjing dalam hal ekonomi-politik sebelum dirasuki kolonialisme (Kuru, 2020:4). Artinya Kuru memandang kolonialisme sebagai akibat dari ketertinggalan, bukan sebab itu sendiri.

          Aliansi ulama dan negara adalah tawaran Kuru atas penyebab utama kemunduran Islam (Kuru, 2020:9). Setelah hampir satu abad penjajahan Barat, negara Muslim mulai membangun negara-negara mereka. Akan tetapi, ulah dari eksploitasi kolonial sulit diatasi. Masalah-masalah besar dalam politik dan ekonomi menjadi buntut kemandekan produksi pengetahuan dan ekonomi selama masa itu. 

Yet these two classes did not emerge in most Muslim countries, an absence I attribute to the historical (post-eleventh-century) dominance of the ulema-state alliance. (Kuru, 2019:6)

          Kuru pun menyadari bahwa absennya intelektual kreatif dan borjuasi independen pasca penjajahan Barat, dibutuhkan untuk mengatasi masalah otoritarianisme dan ketertinggalan sosio-ekonomi. Namun ternyata ketidak hadiran dua kelompok tersebut bukan masalah utama, hal tersebut lahir dari korupnya aliansi ulama dan negara, menurut Kuru.   


Berbagai Pandangan Soal Sekularisme

          Sebelum membahas lebih jauh terkait aliansi ulama-negara serta absennya intelektual dan borjuasi, pandangan konvensional terkait pemisahan agama, dalam konteks ini Islam, dan negara agaknya menarik untuk ditinjau. Saya pernah menanyakan hal ini sebetulnya kepada salah seorang guru saya. “Pokoknya, segala sesuatu yang membuat kita jauh dari Allah itu tidak baik,” kurang lebih begitu jawabnya. Ternyata tidak semua jawaban dapat memberikan pemahaman. 

          Hampir kebanyakan orang skeptis dan menyangsikan sekularisme. Pun saya begitu, entah ketakutan ini bermula dari mana. Mungkin karena sekularisme ini adalah system yang berasal dari Barat, dan kita cenderung paranoid terhadap apa-apa yang datang dari Barat. Padahal tidak semua yang berbau Barat, kata Al Makin dalam Antara Barat dan Timur, pasti negatif terhadap Islam, dan tidak berarti semua orang Barat membenci Islam. Menurut Al Makin juga, pandangan akademisi dan ulama Islam yang mengatakan bahwa Barat berkomplot untuk memerangi Islam, sama sekali tidak memiliki landasan bukti yang mendasar.

          Kembali lagi, perbincangan soal hubungan agama dan negara pertama kali mencuat dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad karya al-Ghazali: Telah dikatakan bahwa agama dan sultan adalah saudara kembar, dan juga bahwa agama adalah dasar dan sultan adalah pelindung. Yang tidak memiliki dasar akan runtuh dan yang tidak memiliki pelindung akan hilang. Sayangnya, Erwin Rosenthal memaknai kata “telah dikatakan” pada pernyataan al-Ghazali sebagai hadis Nabi (Rosenthal, 1958:8). Padahal setelah ditelusuri, kalimat itu berasal dari Persia Sasaniyah. Terlanjur bujur dilepas, terlanjur pikiran berlaga.

          Menurut Kuru, propaganda Islamis juga bertanggung jawab atas kerancuan persepsi Islam sebagai penentang pemisahan agama dan negara. Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir, mempopulerkan gagasan al-Islam din wa daulah, Islam merupakan agama sekaligus negara. Ruhollah Khomeini (pendiri Republik Islam Iran) menegaskan bahwa pemisahan agama dan politik adalah tindakan imperialis supaya ulama tidak ikut campur dalam urusan sosial politik. 

          Argumentasi-argumentasi tersebut dipaparkan Kuru dalam menerjemahkan hukum pemisahan agama dan negara, sekaligus menguatkan alasan aliansi ulama-negara menjadi penyebab ketertinggalan negara Muslim. Lantas, apakah sebenarnya Islam berpihak pada pemisahan tersebut atau tidak? agaknya jawaban guru saya di atas bisa dibaca kembali.


Al-Ghazali Sang Reformis

          Al-Ghazali dinilai oleh sebagian pemikir, salah satunya Randal Collins, bertanggung jawab atas marginalisasi filsafat. Dia dinilai bertangggung jawab atas mandeknya produktivitas pengetahuan Islam. Sebelum lebih dalam menindak lanjuti pernyataan-pernyataan tersebut, ada baiknya kita mengenal singkat al-Ghazali. Karena, tidak dapat dipungkiri bahwa al-Ghazali adalah orang jenius. Tak terhitung berapa buku ia luncurkan dalam bidang yang berbeda-beda. Ia juga dikenal mengedepankan logika, dengan ujaran fenomenalnya; “Barangsiapa yang tidak mengenal ilmu logika, tidak ada kekokohan dalam beragamanya.” Akan tetapi, al-Ghazali terkadang tidak konsisten pada gagasannya. Di satu waktu ia berpenafsiran ortodoks, di lain waktu penafsiran lain. Dan inilah yang membuat rumit. Lantas, mengapa akhirnya ortodoksi al-Ghazali lebih berpengaruh ketimbang penafsiran lainnya?

          Kuru, berdasarkan analisis relasi kekuasaan, menyebut koalisi al-Ghazali dan Madrasah Nizamiyah sebagai dalangnya (kebanyakan pengamat sejarah Islam baik dari negara Muslim maupun Barat menyebut ini sebagai momen kemunduran Islam). Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga Pendidikan yang didirikan oleh al-Qodir, Raja ke-25 Dinasti Abbasiyyah, guna merombak kurikulum Pendidikan yang sebelumnya ada di tanah Baghdad (Baitul Hikmah yang didominasi golongan Syiah). Luthfi asy-Syaukani menilai perubahan ini berbanding terbalik dengan Eropa Barat. Di mana yang sebelumnya, kurikulumnya bersifat saintis, seperti kedokteran, filsafat, dan astronomi beralih menjadi teologis. Dan yang ditunjuk sebagai rektor oleh negara adalah al-Ghazali. Di sini lah peran teoretis al-Ghazali dalam pembentukan ortodoksi Sunni memiliki kontribusi besar.

          Koalisi ulama dan negara militer di abad 11 ini berhasil mengokohkan ortodoksi empat madzhab Sunni dan menyingkirkan pemikir-pemikir Mu’tazilah dan beberapa aliran Syi’ah. Kendati demikian, al-Ghazali tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Al-Ghazali dijadikan alat oleh penguasa untuk kemudian mendirikan Nizamiyyah. Karena penting bagi penguasa menggandeng ulama konservatif untuk melanggengkan kekuasaannya. Dan instrumen agama dinilai lebih ampuh untuk mengkonsolidasikan potensi-potensi konflik. Ditambah lagi, di luar faktor internal tersebut, negara Muslim juga juga mulai direcoki oleh pihak luar, seperti invansi besar-besaran Mongol dan Perang Salib.


Enlighment Despot Sebagai Jawaban    

          Fenomena-fenomena yang muncul di abad 11-12 ini sudah cukup menjadi pil pahit bagi negara Muslim. Luthfi asy-Syaukani sebagai pengamat ketertinggalan negara Muslim mengomentari gagasan Kuru yang mengkambing-hitamkan aliansi negara militer dan ulama. Bahwa aliansi negara dan ulama itu bukan pangkal masalah ketertinggalan, kekerasan, dan praktik otoritarianisme di negara Muslim. 

          Lutfi asy-Syaukani memiliki perspektif baru yang menarik di luar pendekatan yang disebutkan Kuru: political structure dengan despot/pemimpin yang tidak berkualitas. Itulah yang menjadi pangkal permasalahan kemunduran negara Muslim. Enlightment despot inilah yang selanjutnya diharapkan memunculkan dua bensin utama kemajuan peradaban, yaitu intelektual kreatif dan borjuasi independent. Mengapa begitu?

          Luthfi asy-Syaukani mengkritik gagasan Kuru yang menyatakan bahwa aliansi ulama dan negara adalah biang kerok kemunduran negara Muslim. Lebih lanjut dalam kanal Youtubenya, Lutfi menilai aliansi ulama dan negara bukanlah hal baru dalam dunia Islam. Hal ini sudah terjadi sejak awal berdirinya dinasti Islam, Umayyah, di abad 7. Pada masa dinasti Abbasiyah pun, aliansi ulama dan negara ini masih berlangsung. Era keemasan islam pada abad ke 9 hingga ke abad 12 adalah hasil ulama dan negara. Dengan catatan, ulama yang beraliansi di sini adalah ulama yang tercerahkan. Nama al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Mawardi tercatat sebagai ulama yang memiliki kontribusi besar dalam kemajuan negara Muslim. Sebagian mereka beraliansi dengan penguasa, baik sebagai Menteri, hakim, doctor, kepala perpustakaan dan penasehat raja. 

          Alasan lain yang dibawa Lutfi asy-Syaukani adalah, bukan ulama yang berperan penting dalam kemunduran Islam, tapi penguasa. Penguasa memiliki peran sentral dalam kemajuan dan kemunduran suatu peradaban. Ulama bukan unsur primer dalam hal ini, mereka hanya memainkan peran sekunder. Mobilitas mereka sangat bergantung pada penguasa. Sebagai contoh, Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun yang tidak tunduk pada ulama. Bahkan mereka dengan tegas menangkap dan memenjarakan ulama yang bertentangan dengan visi kerajaan. 

          Kedua argumen di atas, membawa Lutfi asy-Syaukani pada satu kesimpulan bahwa kuncinya ada pada penguasa (despot). Jika penguasanya tercerahkan, dalam artian memiliki kematangan intelktual dan emosional, ia berpotensi mendorong kemajuan. Sebaliknya, jika berpikiran sempit, ia akan mendorong kemunduran. Selanjutnya, ulama atau cendekian jenis apa yang mau diajak bekerja sama? Sistem perekonomian bagaimana yang pantas dengan tanah dan kebudayaan bangsanya? Setelah dua hal tersebut terjawab, perekonomian masyarakat akan meningkat dan produksi pengetahuan pun masif. Dari kedua hal inilah aspek supra-struktural menggurita dalam harmoni menuju kemajuan.   


Referensi : 

Arsalan, Syakib. 2013. Kenapa Umat Islam Tertinggal. Pustaka ak-Kautsar Jakarta.

Kuru, Ahmet T. 2019. Islam, Authoritarinism, and Undevelopment: A Global and Historical Comparison. Cambridge University Press.

Lewis, B., 2011. The Middle East: 2000 years of history from the rise of Christianity to the present day. Hachette UK.

Makin, Al. 2015. Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi. Serambi Ilmu Semesta.

Rosenthal, Erwin. 1958. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline. Cambridge University Press.

Video Luthfi Asysyaukanie: Benarkah Ulama Penyebab Kemunduran? pada kanal COKRO TV, diakses pada 12 September 2023.


Misbahul Khoir, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih.

.


Posting Komentar

0 Komentar