Kutuk Aku Jadi Batu


“Jangan melawan orang tuamu! Nanti kau akan dikutuk jadi batu,” ucap Ayu lirih tanpa mengangkat wajah. Tangannya sibuk mengupas permen lolipop yang baru saja ia pungut di jalan. Permen itu jatuh, mungkin tak sengaja, atau memang dibuang karena sudah kehilangan manisnya. 

Aku menoleh, tersenyum hambar. “Aku lebih suka jadi batu,” kataku lirih. Tanganku menggenggam rok hitam lusuh yang tambalannya lebih banyak dari jahitan aslinya. “Batu lebih berharga dari gadis yang dilelang harga dirinya,” kata-kata itu menggantung di udara, menamparku lebih menyakitkan dari tamparan ibu. Warna biru jejak tamparannya masih terlihat jelas di wajahku. 

Beginilah nasib gadis seusiaku di sini. Menunggu takdir seperti barang dagangan yang dipajang di etalase pasar. Jika tak ada juragan tua yang membawa cincin sebagai tanda beli, maka selayaknya barang tak laku dijual, tubuh kami diobral kepada siapapun yang bersedia membeli sisa-sisa harga diri kami.

Aku masih ingat seminggu yang lalu, sebuah mobil besar terparkir di depan gubuk bambu. Orang-orang berbisik mengelilingi rumah tuaku itu. Seorang tetangga menepuk bahuku saat aku berusaha melewati kerumunan. “Hei, kami dengar kau akan segera diperistri seorang juragan sawit desa seberang,” katanya.

Baca Juga: Lagipula, Mengapa Aku Dilarang Cemburu?

Bukan hal baru. Batinku. Aku tau hal ini akan datang menimpaku cepat atau lambat. Belum ada satu tahun sejak kakak tertuaku dibawa pergi pedagang imigran gelap dari Vietnam.  Seperti menjual hewan peliharaan, ibu tak merasa putrinya lebih berharga daripada uang senilai lima juta. 

Maka malam itu, kukatakan pada ibu, aku tak sudi diperistri juragan tua, menjadi istri kesekian pria hidung belang.

Namun malam itu berbeda. Ibu tak mengangkat tangannya, tak memukul seperti biasa. Ibu hanya diam menatapku dengan sorot mata yang menyakitkan. Tatapannya seakan menusukku dengan kesunyian. Tatapannya membuatku bertanya-tanya, adakah sedikit saja ibu menyayangiku sebagai putri yang ia lahirkan ke dunia? Bukan sebagai barang dagangan agar ia bisa hidup tanpa mengkhawatirkan harta.

Sejak hari itu, ibu selalu mengeluhkan uang hasil menjajakan jajanan yang aku kumpulkan seharian. “Hanya segini saja hasilmu? Tak cukup untuk membeli beras sehari!” ucap ibu ketus sambil merapikan rambutnya di depan cermin kecil yang tergantung di pintu kamar. “Andai kau sudah menjadi istri juragan kaya, kita tak perlu khawatir mau makan apa.” Aku menaruh uang receh di atas nakas kecil kusam di pojok ruangan. Tak menghiraukan kata-kata yang ibu lontarkan.

Aku selalu mengabaikan sindiran-sindiran ibu tentang lamaran itu. Hingga sore tadi, saat matahari pamit menyisakan langit jingga dan gelap mulai menyapa. Hari ini, matahari mencapai suhu terpanasnya sepanjang tahun. Panasnya serasa mendidihkan wajah dan kedua tanganku.  Mungkin karena suhu panas siang tadi, atau ucapan ibu sudah terlalu cukup membuat diriku lepas kendali. Saat ibu mulai mengeluh tentang betapa sialnya aku menolak hidup sebagai istri pria berharta, mendapat uang tanpa perlu bekerja, kesabaranku tak lagi menyapa. Aku menggigit bibir bawahku sampai cairan hangat membasahi lidahku. Suaraku bergetar saat kutatap wajah ibu dan berkata “kalau ibu sebegitu inginnya harta dari pria tua bangka itu, kenapa tidak kau saja yang menikah dengannya?” Terlihat jelas wajah terkejut ibu mendengar kata-kata kurang ajarku. Tanpa menjawab sepatah kata pun, ibu berjalan mendekatiku dan menampar keras wajahku. Rasa panas tamparannya serasa meruntuhkan jiwa dan perasaanku. Dunia serasa berputar dan aku berada dalam lubang hitam tak berdasar. Samar-samar kudengar teriakan ibu mengataiku kurang ajar. Aku terpejam sampai suara lain membuatku tersadar.

Baca Juga: Grounding Emosi melalui menulis Puisi

“Kalau kau melawannya, kau akan dikutuk jadi batu,” Ayu mengulang perkataannya. Mulutnya penuh dengan permen lolipop yang akhirnya berhasil ia buka.

Aku hanya tersenyum melihat gadis kecil itu. Tatapanku teralih pada gemerlap lampu kota, berharap perkataan ayu ada benarnya. Andai ibu benar-benar mengutukku jadi batu. Tapi aku tahu, kutukan yang sebenarnya bukanlah kutukan menjadi batu, melainkan kembali menjalani hari sebagai manusia tak berharga.

Aida Ghifary Zakiyah, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN  Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih.

 


Posting Komentar

0 Komentar