Cadar Dalam Kontruksi Budaya Kita

Cadar, wanita bercadar, budaya bercadar, cadar di Indonesia, hukum bercadar, bagaimana seharusnya bercadar, cara menggunakan cadar,


Al-Bayaanaat.com - Beberapa bulan yang lalu, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dikejutkan dengan keluarnya surat edaran dari Rektor UIN Suka yang akan melakukan pembinaan terhadap mahasiswi yang memakai cadar. Surat dengan nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 yang bertanggal 20 Februari 2018 itu sontak membuat geger jagat dunia maya di kalangan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Banyak timbul pertanyaan dan pernyataan pro dan kontra dengan keluarnya surat tersebut. 

Informasipun bergulir begitu cepat, hal itu lantas membuat banyak analisis yang muncul, sebenarnya apa yang melatar belakangi keluarnya kebijakan itu bisa dikeluarkan oleh pihak rektorat kampus putih ini. Karna disadari atau tidak, kampus yang selama ini berkoar-koar dengan brending kampus inklusi dan menjamin ruang kebebasan akademik ini, seolah runtuh seketika ketika surat edaran ini dikeluarkan oleh rektor.

Namun dalam tulisan ini saya tidak akan jauh membahas kebijakan yang sudah terlanjur dikeluarkan oleh pihak rektorat tersebut. Toh kebijakan itupun akhirnya di cabut oleh pihak rektorat sendiri karna menimbang untuk meredam kegaduhan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Sangat disayangkan memang pencabutan kebijakan yang sebenarnya sangat power full tersebut kemudian menguap begitu saja. Seharusnya pihak rektorat lebih berani dan konsisten untuk memegang prinsip bahwa kampus adalah ruang akademik yang mempunyai otoritas untuk menjalankan kebijakan tersebut. Namun sayang beribu sayang ternyata kampus belum siap untuk bermain dengan ombak yang besar, akhirnya ketika diterjang ombak belum siap hantanman.

Kenapa kebijakan cadar yang dikeluarkan kampus bagi saya penting, karna ruang kampus adalah ruang dialektika wacana untuk menemukan pancaran realitas yang sesuai dengan idealita. Selama mempunyai argumen yang kuat dan dapat dipertagung jawabkan secara rasional/akademik apapun itu kampus punya hak disana. Begitupun dengan kebijakan cadar ini, ketika mempunyai basis landasan hukum secara akademik hal tersebut seharusnya bisa dijalankan. 

Namun, seperti diatas kampus ternyata belum begitu siap untuk menjalankan kebijakan tersebut. Padahal masalah pengunaan cadar sebenarnya masih bisa kita problematisir sedemikian rupa sampai keakar-akarnya terkait pembacaan sosial politik dan kebudayaan kenapa cadar bisa hadir di tengah-tengah masyarakat kita.

Cadar, Budaya dan Radikalisme

Kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang selalu bergerak kedepan sesaui dengan konteks zaman itu ada. Adanya perubahan adalah kosekuensi logis bahwa kita hidup, begitupun dengan berubahnya suatu kebudayaan. 

Cadar adalah bagian dari budaya arab yang tumbuh beriringan dengan kondisi geografis bangsa arab. Walaupun budaya itu bergerak berubah tetapi pemakaian cadar dengan bentuk yang seperti itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan bangsa Arab sampai menjadi simbol dan identitas bangsa Arab.

Dari gambaran diatas jelas bahwa konsep cadar itu awalnya bukan bersumber dari ajaran agama Islam, tetapi tumbuh dan berkembang dari budaya bangsa Arab. Sekalipun Islam bertepatan muncul diwilayah Arab tetapi budaya pemakaian cadar tidak bisa dikalim sepihak sebagai budaya Islam. Dalam Islam sendiri konsep berpakaian bagi perempuan hanya melingkupi menutup seluruh badan (aurat) kecuali telapak tangan dan wajah, hal itupun masih menjadi perdebatan ulamak terkait ukuran-ukuran yang ada. Dari hal itu jelas bahwa belum ada konsep utuh bagi kaum muslimah sendiri dalam terkait bentuk berpakaian, walaupun begitu  yang pasti kaum muslimah dibatasi dengan aturan syariah yang telah disebutkan diatas.

Sementara itu terus apa kaitanya cadar dengan radikalisme? Pernyataan itu muncul juga tak lepas dari kebijakan di atas bahwa pengunaan cadar di indikasikan sebagai orang yang memiliki paham radikal. Hal ini menurutku kurang tepat, masih banyak kemungkinan untuk mengarah kesana bahwa orang yang memakai cadar cenderung radikal.

Dalam hal ini sebenarnya saya belum menemukan buku refrensi yang cukup kredibel untuk menyatakan bahwa cadar itu berhubungan langsung dengan gerakan radikalisme. Memang beberapa sempel dari kasus seperti  bom panci di Bekasi tahun 2016  yang terjadi beberapa waktu lalu, pelakunya mengunakan cadar. Kemudian beberapa istri para terpidana kasus terorisme kebanyakan juga mengunakan cadar, namun apakah itu cukup kuat untuk mengeneralisir  perempuan bercadar  identik dengan gerakan Islam radikal.  

Karna yang menarik kecenderungan memakai cadar hari ini pada dasarnya tak ubahnya seperti tren fashion seperti model baju yang lainya. Seperti yang di ungkapkan oleh Jean Baurdirllard salah satu filosof dari Prancis bahwa perubahan corak fashion tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh ekonomi, sosial, politik, dan persoalan kultur (perubahan budaya). Ia menyatakan bahwa fashion tidak merujuk pada segala sesuatu yang nyata bahkan ia tidak menggiring kemanapun. Karna fashion hanya manivestasi kode. Artinya, fashion diciptakan tidak menurut determinasi sendiri, tetapi dari model itu sendiri, itulah sebabnya, ia tidak pernah diciptakan tetapi selalu ada dan serta merta diciptakan.

Dalam hal ini susah kiranya untuk menarik pemakaian cadar yang menjadi fashion bagi kaum muslimah hari ini menjadi satu determinasi kearah yang tunggal yaitu gerakan radikal. Karna melihat kultur keagamaan terutama di indonesia yang sudah berubah dari yang dulu hanya beberapa golongan yang dominan yang bersifat lebih moderat, sekarang realitasnya keagamaanya sudah berubah sedemikian rupa. Walaupun benih-benih beberapa golongan konservatif sebenarnya sudah muncul sejak masa orde baru seperti yang diungkapkan dalam buku Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia (2011).

Perubahan pola keagamaan kita hari ini,  harus kita sadari sebagai realitas otentik yang tentunya tidak bisa kita lepaskan dari pegaruh era keterbukaan informasi dan demokrasi terbuka seperti sekarang hari ini. Secara tidak langsung faham-faham keagamaan menjadi menjamur dan setiap orang bebas untuk memilih mana yang sesuai dengan kepentingannya. Akibatnya kultur keagamaan ini berubah, nantinya juga merubah kultur berpakaian yang sering dihubungkan dengan nilai seperitualitas seseorang ini.

Hal ini belum kita lihat dari segi  gerakan politik kegaamaan yang begitu banyak di indonesia. Seperti dimuat dalam buku Ilusi Negara Islam( Ekspansi gerakan islam Trasnsional di indonesia), yang ternyata setiap gerakan Islam yang berbentuk ormas ataupun yang lainya, memiliki orientasi politis yang berbeda-beda. Yang jelas gerakan Islam transnasional di indonesia tidak bisa semuanya kita generalisir bahwa semua menolak negara Indonesia. Tetapi dari kesemuanya berusaha untuk merubah kultur keagamaan kita secara berlahan, itu benar adanya. Dari hal itulah sangat susah kiranya menarik satu simbol kegaamaan seperti cadar ini kedalam satu arah afiliasi politik organisasi yang bertentangan dengan negara.

Kemudian pernyataan yang menyatakan bahwa cadar tidak mencerminkan kultur keagamaan Islam yang ada di nusantara ini juga menimbulkan banyak pertanyaan. Memang sejak kapan negara ini memiliki bentuk pakaian keagmaan yang bisa dilabeli sebagai bentuk khas nusantara terutama penggunaan hijab. Kalau kita ingin kembali kebelakang latar belakang sejarah di Indonesia belum ada yang secara sepesifik menyatakan bahwa pakaiaan kegamaan kita itu lahir dari proses kebudayaan kita. Karna setiap zamannya fashion itu selalu berubah-ubah dan harus kita lihat struktur apa yang mempengaruhi perubahan tersebut bisa terjadi. 

Bahkan kalo kita lihat pada tahun 70-an kebelakang pemakaian hijab sekalipun tidak begitu familiar dikalangan muslimah di Indonesia. seperti halnya pada masa awal IAIN sebagai institusi Islam waktu itu banyak mahasiswinya tidak mengunakan hijab, hal ini bisa dilihat di dokumen LPM Arena. Sekali lagi, hal ini dipengaruhi oleh pola keberagmaan kita yang saat itu masih sangat kuat relasinya dengan kebijakan negara (Orde Baru) sehingga pemakian simbol kegaamaan juga di atur oleh negara.

Selain itu bentuk budaya berpakaiaan kita sesungguhnya tidak bisa kita lepaskan dari proses akulturasi budaya yang datangnya dari luar negara kita. Seperti halnya Sunan Kalijaga yang membuat baju koko yang sekarang menjadi tren baju khas saat lebaran agama Islam ini. Apakah Sunan Kalijaga dalam membuat baju koko tersebut mengambil dari kebudayaan kita sendiri, tentunya tidak karna baju koko tersebut hasil modifikasi Sunan Kalijaga perpaduan baju khas Cina dan Jawa jadilah baju lurik yang sampai sekarang bisa kita lihat hasilnya. 

Artinya apa selama ini belum ada definisi khusus yang menyatakan bahwa bentuk pakaiaan bagi muslimah itu harus seperti ini, tanpa cadar misalnya. Lagi pula berbicara agama adalah ruang privasi personal seseorang, semua orang punya hak untuk mengekspresikan keberagmaan kita. Bahkan di dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang mana disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaanya.

Cadar dan Komodifikasi Agama

Pada prinsipnya saya tidak sepakat dengan pengunaan cadar, karna cadar sendiri dalam tradisi kaum muslimin itu masih banyak perdebatan asal dari mana rujukan ayatnya. Karna sekecil pemahaman saya terkait hukum fiqih yang dirujuk dari Al quran dan Hadist, bahwa kaum muslimah disuruh untuk menutupi auratnya yang meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Artinya kalau sampai menutupi semuanya dan hanya tinggal menyisakan kedua mata saya tidak begitu memahami dari mana rujukannya.

Selain itu seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa pakaian itu adalah  bentuk konstruksi budaya, hal ini juga tidak bisa kita lepaskan pada konteks cadar yang awal mulanya muncul di Arab. Kondisi geografis sangat menentukan kenapa pengunakan cadar sangat penting karna alasan kesehatan. Namun dalam konteks kita di Indonesia apakah hal itu relevan, ya kita sudah tahu sendiri jawabanya.

Walaupun begitu kita juga harus melihat fenomena itu secara kritis dalam artian sejauh mana  pemakaian cadar hari ini sebagai bentuk tren baru dalam berpakaiaan. Karna tidak bisa dipungkiri bahwa cadar hari ini tidak lagi menjadi simbolitas keagamaan semata tetapi menjadi bentuk nilai baru yaitu nilai komoditi (pasar) itu sendiri. Parahnya jika pemakaian busana muslim selalu dihubungkan dengan nilai spiritual seseorang, hari ini spiritual seseorang di komoditikan menjadi brending untuk terjualnya suatu produk yang diminati pasar.

Hubungan antara ini sangatlah jelas dimana nilai berbusana muslimah yang secara esensial didasarkan pada nash agama untuk melindungi kaum muslimah, tetapi kemudian nilai fungsional tersebut berubah menjadi nilai simbolik  yang dimanfaatkan oleh kepentingan pasar untukterjualnya seperti produk (Rolard Bard).

Sehingga yang terjadi adalah jumlah produksi cadar (busana muslimah) meningkat tetapi tidak sebanding lurus dengan kondisi mentalitas ataupun sepiritual seseorang pemakaianya. Karna dorongan untuk mengunakan cadar tidak lagi atas kesadaran personal tetapi akibat tren dari konstruksi keagamaan yang cenderung membenarkan pendapat golongannya sendiri tersebut. Hal tersebut sudah menjadi kesadaran masyarakat kita sebagai berubahnya suatu budaya dari masyarakat kita.

Terlepas dari itu semua itulah realitas kita saat ini, ketika kampus tidak bisa memberikan gambaran teoritik terkait bagaimana sebenarnya akar historis dan filosofis dari bentuk kebudayaan dan nilai keagamaan ditengah masyarakat ataupun kita sebagai mahasiswa. Pendangkalan nilai-nilai keagamaan sudah barang tentu susah dihindari oleh masyarakat luas, akibat konstruksi sosial yang menganut logika matrial yang konsumtif seperti sekarang ini.

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih. 

 

Posting Komentar

1 Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan