Kemenangan yang Kalah

 Kemenangan yang kalah, cerpen, cerpen kehidupan, contoh cerpen, albayaanaat, albayanat, bsa uin suka, bahasa dan sastra arab, budaya,

Malam itu, Bahrum tidak bisa tidur. Bayangan sosok Salamah dan juga Ilham terus saja bergantian muncul dalam benaknya. Lelaki itu kemudian loncat dari tempat tidur dan mengambil keris dari dalam lemari. Sekali tusuk, Ilham pasti mampus, pikirnya penuh amarah. Keris itu adalah keris warangan yang beracun dan sudah tersimpan sejak puluhan tahun yang lalu. Dipandanginya keris tersebut sembari membayangkan apa yang hendak dilakukannya besok. Kemudian, pikirannya kembali terusik oleh kenangan yang teramat menyakitkan beberapa tahun silam.

Dulu, Bahrum memiliki dua orang sahabat dekat, Maruto dan Ilham. Mereka adalah tiga serangkai pemuda desa yang rukun. Akan tetapi, kerukunan tersebut tidak bertahan lama lantaran sosok Salamah, seorang kembang desa, hadir di antara mereka bertiga. Mereka sama-sama mencintai kembang desa itu dan berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya. Salamah, sebagai satu-satunya perempuan yang diperebutkan, akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Bahrum.

Keduanya lalu menikah. Namun, sebuah tragedi memilukan justru menghampiri kehidupan rumah tangga baru mereka. Bahrum sama sekali tidak bisa melupakan kejadian tersebut. Hatinya begitu luka. Terlebih, peristiwa tragis itu disaksikan oleh kedua mata kepalanya sendiri. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk tidak menikah lagi lantaran rasa cintanya kepada Salamah yang begitu besar.

Dendam itu kembali memuncak setelah kedatangan Maruto.

"Aku baru merasa lega jika Ilham sudah kubunuh dengan kerisku ini" ujarnya kepada Maruto siang itu.

Keesokan paginya, Maruto kembali datang ke rumah Bahrum.

"Kamu sudah siap, Bahrum?" tanya Maruto. Bahrum mengangguk dengan raut wajah penuh amarah. Keris yang diambilnya dari lemari semalam, kini sudah terbungkus dengan pelepah pisang.

"Kita berhenti di sini, ya” ujar Maruto. Sekali lagi, Bahrum hanya mengangguk tanpa berucap sepatah kata. Maruto kemudian memberi aba-aba kepada sopir, lalu bus yang mereka tumpangi berhenti persis di jalan tepi hutan. Kedua laki-laki itu lantas meloncat turun dari bus.

"Kita harus berjalan kaki ke sana, Bahrum." Maruto menunjuk ke suatu arah.

"Apa dia tinggal di dalam hutan?"

"Ya. Di balik hutan ini, ada desa kecil. Di desa itulah jahanam itu tinggal." Kedua lelaki itu kemudian menyusuri jalan setapak di tengah hutan jati.

Bahrum sudah bertekad bahwa hari itu ia harus membunuh Ilham, lalu setelah itu  ia menyerahkan diri ke polisi.

"Apa kita perlu istirahat sebentar, Bahrum?" tanya Maruto setelah cukup jauh berjalan.

“Tidak. Aku sudah tak sabar lagi. Kamu benar-benar tahu rumahnya kan, Maruto?"

“Hanya ancer-ancernya saja. Selebihnya, nanti kita tanya penduduk.”

Saat di pertengahan jalan, tiba-tiba Maruto berteriak. Beberapa kera yang bergelantungan di dahan jati berloncatan. Mungkin  merasa terganggu oleh kedatangan dua lelaki itu.

“Maruto” panggil Bahrum. Maruto menoleh, “kenapa kamu juga menginginkan kematian Ilham?” tanya Bahrum sambil menatap Maruto tajam.

“Bahrum..Bahrum" ditepuknya pundak sahabatnya itu pelan, "kamu tahu sendiri kan jika kita bertiga sama-sama mencintai Salamah? Tapi aku tidak seperti Ilham, aku mengaku kalah. Aku juga benar-benar marah ketika ia menjahanami istrimu” jelas Maruto mayakinkan.

“Begitukah? Kamu tidak membohongiku, bukan? Misalnya, kamu punya dendam lain dan ingin menggunakan tanganku untuk membalasnya?” tanya Bahrum sekali lagi.

“Sama sekali tidak, sahabat” jawab Maruto, “oh iya, aku cukup sampai sini saja, Bahrum. Di situlah Ilham tinggal” tunjuk Maruto ke sebuah desa yang sudah mulai nampak jelas dari pandangan mereka berdua.

“Aku tahu maksudmu, Maruto, terima kasih sudah membantuku sejauh ini. Aku janji, tidak akan menyeretmu  ke dalam masalah ini.”

Ketika Bahrum meneruskan langkahnya, Maruto berbalik arah. Sampai dibelokan kedua, Bahrum mulai ragu-ragu. Rumah itu nampak kecil dan sederhana. Persis di depannya, berdiri sebuah surau yang juga kecil. Bahrum termangu di halaman.

“Benarkah ini rumah pemerkosa istriku?” Bahrum melongok ke dalam rumah melalui pintu depan yang dibiarkan terbuka, sepi di dalam.

"Maaf, mencari siapa, Pak?" tanya seorang lelaki muda.

"Apa benar ini rumah pak Ilham?"

"Benar, Pak. Tapi, biasanya pada jam-jam segini beliau sedang berdzikir di suraunya. Coba tengok di sana saja, Pak" ujar lelaki itu sembari menunjuk ke arah surau.

Bahrum melongok ke dalam surau. Benar, di dalam ada seorang lelaki yang tengah khusuk berdzikir. Meskipun dari belakang, Bahrum tetap bisa mengenali bahwa laki-laki itu tak lain adalah Ilham. Lalu, Bahrum menunggu di serambi surau. Tak lama, terdengar suaru batuk-batuk di belakangnya. Bahrum menoleh, Ilham sudah berdiri di dekatnya. Lelaki itu mengulurkan tangan, tetapi Bahrum diam saja.

"Bertahun-tahun aku mencarimu, Ilham."

"Aku tahu itu dan aku sudah pasrah. Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa lari dari hukuman akibat dosa yang aku perbuat." Bahrum termangu. Apakah dia sudah bertobat? Lalu, siapa sesungguhnya yang lebih baik, diriku ataukah  Ilham? batinnya.

Bahrum memandang Ilham. Wajah lelaki itu begitu bening dan elok dipandang. Namun, tiba-tiba seluruh tubuh Bahrum gemetar, kemudian oleng dan jatuh. Buru-buru lham mengangkat tubuh sahabatnya itu ke dalam rumah. Bahrum sadar setelah diberi minum air putih.

"Maafkan aku, Ilham."

"Tidak, sahabat. Akulah yang berdosa kepadamu."

"Simpanlah ini." Bahrum memberikan bungkusan pelepah pisang yang dibawanya tadi. Ilham menerima bungkusan tersebut dan membukanya.

"Terus terang saja, hari ini aku berniat untuk membunuhmu, Ilham." Mendengar itu, Ilham lantas mengembalikan keris itu kepada Bahrum.

"Kalau begitu, laksanakanlah niatmu itu." Bahrum menggeleng.

"Ilham, bolehkah aku bertanya sesuatu? Kenapa Maruto juga menginginkan kematianmu?" Ilham hanya tersenyum.

"Semua itu sudah kuduga. Tapi, kalau aku katakan rahasianya, apakah kamu akan mengampuni Maruto?"

"Aku berjanji."

"Sudah, lupakan saja dia. Anggap tidak pernah ada persoalan antara kamu dan Maruto."

"Maruto yang memberitahuku jika kamu tinggal di desa ini."

"Sudah kuduga. Tapi, biarlah!"

Bahrum memutar ingatannya kembali ke masa dua puluh tahun lalu.

Jadi malam itu juga ada Maruto? Bukan hanya Ilham?. Bahrum jatuh pingsan. Sementara Maruto, setengah berlari di jalan tengah hutan. Ia berlari kencang seolah dikejar harimau. Maruto berlari sambil berkali-kali menoleh ke belakang, meski sebenarnya tidak ada seekor binatangpun di belaknganya. Lalu, Maruto terkejut setengah mati ketika di depannya yang hanya berjarak lima meter, seekor harimau kumbang berukuran sangat besar sedang menghadang jalannya. Tubuh Maruto tiba-tiba tidak bisa digerakkan. Lelaki itu sontak jatuh di atas tanah. Harimau itu mendekati tubuh Maruto dan mengendus-endus ke seluruh bagian tubuhnya. Kemudian menggigit tengkuk Maruto dan menyeretnya masuk ke tengah hutan jati.

Angkasa, penulis adalah seorang introvert yang berteduh kepada kehidupan. Lahir di Kerinci, Jambi dan akan selalu menjadi tenaga pendidik di sana hingga hayat.


Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih.  

Posting Komentar

1 Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan