Pedagang yang Bercita-Cita Bangkrut


Cahaya bulan memasuki sela-sela ventilasi jendela kamar Marwan ketika ia bangun dari tidurnya. Malam itu, Marwan bermimpi. Sebuah mimpi yang membuatnya takjub. Tapi ketika ia mencoba mereka-reka setiap adegan dari mimpi itu, kepalanya tiba-tiba tak punya kemampuan mengingat. 

Marwan kemudian duduk dari baringnya. Wajahnya yang biru terkena bayang-bayang cahaya bulan menampakkan ekspresi serius. Seolah-olah ia sedang berdiri di hadapan dosen penguji sidang skripsi. Tapi di dalam kesadarannya Marwan tidak sedang mengujikan skripsinya, melainkan ia berkonsentrasi penuh mencoba memunculkan setiap detail memori dari mimpi di malam itu. Semakin ia konsentrasi semakin ia buyar. Semakin ia mencoba menyusun kepingan puzzle itu semakin ia tersesat. Berada di penghujung jalan, Marwan menyerah dan kembali tidur.

Marwan adalah seorang pebisnis thrifting yang sukses. Ia memulai bisnisnya di masa sekolah. Saat itu, orang tua Marwan bicara enam mata kepadanya dan mengakui kalau mereka tidak lagi mampu membiayai sekolahnya. Marwan sempat putus asa dan menerima nasibnya. Lantas ia pun mulai menjadi kuli ikut proyek Paklek-nya. Tapi setelah dua bulan, ia berhenti. Ia bukan berhenti kerja sebab tidak betah. Melainkan Marwan mendapatkan mimpi. Di mimpi itu, ia berjalan di tengah batu-batuan. Kakinya sobek bersimbah darah. Ia ingin menangis tapi ketika melihat di ujung jalan ada cahaya gemerlap, ia urung dan terus berjalan. Setelah bertahun-tahun berjalan, ia akhirnya sampai. Dan usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Di ujung jalan itu, ada sebuah kenikmatan yang luar biasa. Tapi sebelum bisa merasakan nikmat itu untuk waktu yang lama, ia terbangun.

Dari mimpi itu Marwan mencoba menerjemahkan dan menafsirkannya. Kaki yang bersimbah darah ia andai-andaikan dengan sepatu. “Apa yang bisa dihasilkan dari sepatu?” pikirnya. Setelah pertimbangan ini dan itu, ia berhasil menghasilkan uang dari usahanya sendiri, yaitu dengan menjual sepatu. Dari situlah uang berputar dan bisnisnya semakin besar. Sekarang, Marwan sudah layak untuk berjalan angkuh di muka bumi. Dari yang tidak punya uang untuk membayar SPP menjadi pebisnis yang keuntungannya mampu membiayai SPP berkali-kali lipat.

Maka itu ia bisa bermimpi indah sekarang. Mimpi indah itu, menurut Marwan, tentu saja hasil kerja kerasnya. Karena Marwan punya prinsip, “Kalau tidak ada rasa asam, maka tidak akan ada rasa manis. Tanpa berjalan menyusuri kegelapan, tidak akan ada tempat tujuan yang dilingkupi cahaya.” Tapi di tengah-tengah kesuksesan itu, ada satu rahasia besar yang tersimpan di dalam lubuk hati remaja tujuh belas tahun itu. Marwan takut. Ia benar-benar takut. Kepada masa depan. Kepada ketidakpastian. Kepada isi kepalanya sendiri. Kata orang, dan Marwan sendiri sudah mengamininya, emosi paling tua dalam sejarah manusia adalah rasa takut. Dan ketakutan paling tua dalam sejarah manusia adalah takut pada ketidakpastian. Makanya setiap bermimpi ia selalu mencoba mengingatnya. Setelah ingat, dicatatlah mimpi itu untuk kemudian ia timbang-timbang: Apa yang bisa ia dapat dari mimpi itu?

***

Malam itu, setelah kembali tidur sebab tak mampu mengingat mimpi indahnya, ia lagi-lagi bermimpi. Tapi itu bukan mimpi indah. Malah jauh dari kata indah. Itu adalah mimpi yang buruk. Terburuk dari yang buruk. Terlaknat dari yang laknat. Di mimpi itu Marwan merasa seperti menjadi tokoh utama di dalam novel Kafka. Ia berubah menjadi jangkrik. Bedanya, ia tidak sedang berada di kamar rumah bertingkat dua. Ia berada di tengah hutan, di mana hukum alam diperlakukan dengan seutuh-utuhnya. Yang kuat melahap yang lemah. Yang besar menginjak-injak yang kecil. Yang tak berdaya hanya bisa bersembunyi, berlarian serampangan ke gua ini lalu pindah ke bawah semak-semak itu. 

“O, pertanda apakah ini?” batin Marwan. “Mengapa setelah mengalami penderitaan panjang aku tetap tidak diizinkan untuk merasakan secuil nikmat? Mengapa setelah kauhancurkan aku berkeping-keping lantas kaupaksa aku untuk menyatukan kepingan itu kembali? Sejahat itukah kau, wahai Hidup?”

Marwan menangis. Dengan wujud jangkriknya. Ia terisak-isak sambil mengutuki nasibnya sendiri. Dan di tengah-tengah tangis itu, Marwan melihat kupu-kupu. Kepakan sayap indah serangga itu menghentikan tangisan Marwan. 

“O, kupu-kupu!” teriak Marwan. 

Kupu-kupu itu menoleh ke arah Marwan. Dia memiringkan kepalanya lalu berkata, “Jangkrik kecil, ada apa gerangan? Kenapa kau menangis tersedu-sedu di hutan penuh sunyi ini?”

Marwan terpesona. Suaranya seindah sayapnya. Kata-katanya selembut pesonanya. “Ah, tidak, a-aku bukan jangkrik. Aku manusia! Aku sedang bermimpi dan di mimpi itu wujudku adalah jangkrik!”

“Oh? Kalau begitu, manusia terhormat yang ada di tubuh jangkrik, aku punya sebuah tugas untukmu,” ujar kupu-kupu.

“Berikan padaku!” Seolah-olah terhipnotis, Marwan dengan cepat merespon. “Berikan tugas apapun itu! Aku manusia—tidak, jangkrik yang terhormat ini akan memenuhi segala permintaanmu!”

“Betapa baik hatinya kau, jangkrik kecil. Kalau begitu, aku memberi tugas kepadamu untuk menjaga anak-anakku di daun ini dari siapapun yang mencoba memangsanya. Ingat, jangkrik kecil, telur-telurku tidak memiliki apa yang disebut kekuatan dan kau punya. Telur-telurku tidak memiliki akal dan kau punya. Maka korbankanlah tubuhmu untuk masa depan anak-anak itu. Sebab anak-anak itu akan menjadi sepertiku: Kupu-kupu dengan sayap yang indah.” Setelah berkata, sang kupu-kupu lalu membentangkan sayapnya dan terbang entah ke mana.

Baca Juga Menjaga Surga

Si jangkrik Marwan mematung, tapi di dalam kepalanya terdapat banyak sekali fantasi berkeliaran tentang berbagai macam pujian yang akan diberikan kupu-kupu setelah ia menyelesaikan tugasnya. Tiba-tiba, di tengah fantasinya, Marwan mendengar derap langkah pasukan. Ia segera bersiaga. Ternyata sebelum ia menyadarinya, satu peleton pasukan semut api sudah berada tidak jauh dari pandangnya. Mereka dengan rakus berbaris menuju telur kupu-kupu. Marwan sangat percaya diri karena tubuh semut sangat jauh lebih kecil dibanding tubuh jangkriknya. 'Aku bisa dengan mudah membasmi satu peleton pasukan itu,' pikirnya naif. Namun kenyataan memang kejam. Semut-semut itu dengan beringas mengoyak-ngoyak tubuh Marwan. Ia hanya bisa berteriak kesakitan ketika para semut itu mengerubungi telur kupu-kupu.

“Ah.” Sambil kesadarannya samar-samar menghilang, Marwan berkata di dalam kepalanya. “Ini hanya mimpi… dan mimpi telah menjadi kiblat hidupku selama ini.”

***

Marwan bangun dari tidurnya dengan nafas terengah-engah. Tidak seperti sebelumnya, mimpi itu terngiang-ngiang di kepala dan membekas di tubuh. Dan sensasi yang ia rasakan sangat berseberangan dengan mimpi pertama saat ia berjalan di atas batu-batu. Jika sebelumnya adalah rasa bahagia. Mimpi ini melahirkan ketakutan. Ketakutan yang persis dengan apa yang selalu ia khawatirkan; Ketidakpastian dan ketidaktahuan. Di depannya seperti ada jalan bercabang dan Marwan tidak tahu jalan mana yang musti ditempuh.

Suara alarm gawai memecah keringat Marwan. Ia mengambil gawai itu, mematikan alarm, membuka catatan, lalu jarinya menari-nari mengisi alat kebutuhan paling primer di kehidupan manusia itu dengan detail-detail mimpinya; tentang jangkrik, tentang Kafka, tentang kupu-kupu, tentang manusia, tentang hutan, tentang pasukan semut. Di penghujung kalimat, Marwan menarik nafas panjang, lalu jarinya yang gemetar kembali menghentak-hentak layar. Ia menulis, “Langkah berikutnya, segera, tanpa ditunda: habiskan uang. Sumbangkan. Atau sekadar hamburkan. Besok. Sudah. Berpisah. Dengan. Abadi.”

Azka El Faatih. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga.

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih.


Posting Komentar

1 Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan