Benci Produk Asing: Onani Nasionalisme yang Usang

Joko Widodo

Manusia tak akan mampu menyelesaikan keberisikan di kepalanya, sebelum keberisikan di sekitarnya telah selesai dihadang. Tapi lagi-lagi, keberisikan-keberisikan di sekitar manusia adalah suatu ‘hil mustahal’ untuk diredam suaranya, apalagi diampuni.

Baru-baru ini jagat media yang bersarang di gawai saya dan kawan-kawan sekalian, bisa dikatakan sangat berisik, usik, dan cerewet. Ada yang berkhotbah tentang miras dan tetek-bengeknya, ada pula yang memberitakan khotbah presiden kita, Joko Widodo, yang disampaikan saat membuka Rapat Kerja Kemendag tahun 2021 pada Kamis, 4 Maret 2021.

Untuk urusan miras, okelah. Saya diam. Saya bungkam. Karena diam adalah emas, katanya. Ditambah lagi saya tak begitu mengikuti isu-isu mengenai pro-kontra investasi miras di 4 provinsi di Indonesia. Tapi, untuk ihwal kedua, saya sedikit merasa getir. Isi kepala saya dipaksa mondar-mandir. Ada yang janggal dan kurang ajar. Mengapa demikian?

Pertama, saat membuka acara Rapat Kerja Kementrian Perdagangan RI, Kamis (04/03/2021), Presiden Joko Widodo mengatakan: 

“Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan, produk-produk dalam negeri. Gaungkan juga benci produk dari luar negeri.” Begitulah ujar beliau saat itu.

Lantas dilanjutkan dengan kalimat berikut:

“Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri, sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia.”

Dalam pernyataan tersebut, jelas-jelas ada ke-blunder-an yang sangat mencolok. Katanya, kita harus membenci produk asing/luar negeri. Tapi faktanya, bukankah tingkat impor negara masih sangat bergantung dari luar? Saya yakin para pembaca yang budiman sudah mengetahui sendiri seperti apa jawabannya. Jika ada yang belum tahu, alangkah baiknya anda sekalian sedikit menggerakkan jempol untuk berpetualang lebih jauh lagi mencari data impor negara di gawai masing-masing.

Kedua, berdasarkan seruan ‘khotbah’ Pak Jokowi di atas, ada sebuah kontradiksi yang nampak secara gamblang. Masyarakat diminta untuk mencintai sekaligus membenci. Jadi, langkah apa yang perlu didahulukan? Mencintai atau membenci? Sungguh buram sekali saya melihatnya. 

Untuk poin pertama dan kedua saya rasa masih bisa ditoleransi dengan kepala dingin dan hati yang jembar. Karena jelas-jelas niat Pak Jokowi adalah untuk meningkatkan daya saing UMKM dan produk lokal agar semakin eksis dalam pasar nasional maupun internasional. Bahkan setelah itu muncul berita yang menjelaskan musabab Pak Jokowi menggaungkan cinta produk dalam negeri dan benci produk asing melalui ungkapan Menteri Perdagangan RI, Muhammad Lutfi.

Muhammad Lutfi mengatakan alasan mengapa presiden menggaungkan benci produk luar negeri karena dipicu cerita yang ia sampaikan sesaat sebelum Jokowi membuka acara Rapat Kerja Kemendag tersebut. 

Cerita yang disampaikan oleh Muhammad Lutfi kepada kepala negara yaitu mengenai praktik predatory pricing melalui platform e-commerce global. Perlu diketahui, predatory pricing adalah strategi penjualan dengan harga yang lebih rendah dan bertujuan untuk menyingkirkan pesaing-pesaing pada pasar yang sama. Jadi, banyak bisnis UMKM Indonesia yang tersingkir dan tersungkur dikarenakan adanya praktik predatory pricing dari pihak asing.

Sudah jelas, bukan? Sebenarnya niat presiden kita baik. Bisa juga Pak Presiden sedang sebal dengan praktik tersebut, sehingga untuk meringkas redaksi dari Pak Lutfi, beliau cukup menyerukan slogan “Cintai produk dalam negeri, benci produk dari luar negeri.”

Sialnya, jagat media terlanjur melejitkan perihal seruan presiden tentang benci produk dari luar negeri. Bahkan di media sosial Twitter sempat trending topic dengan tagar #BenciProdukAsing mencuat di permukaan beranda. Pada poin ini pula−sekaligus poin ketiga yang mengganjal−saya ingin sedikit melucuti dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Baiklah, kita mulai. Dengan pernyataan “Cintai produk dalam negeri dan benci produk dari luar negeri”, Jelas sudah bahwasanya Pak Jokowi ingin menguatkan jiwa-jiwa nasionalisme masyarakat kita−selain memperkuat taji produk lokal. Masyarakat yang mencintai dan bangga dengan produk dalam negeri, sudah pasti memiliki jiwa nasionalis yang tak perlu dipertanyakan lagi. Selain cinta dan bangga, pengguna produk dalam negeri juga seorang yang mulia dan memiliki sumbangsih besar dalam memakmurkan perekonomian negeri.

Namun yang menjadi satu kenaifan adalah ketika seruan untuk mencintai tersebut dibumbui dengan seruan membenci liyan. Hal ini sangat bertentangan dengan adagium Jawa yang masyhur, yaitu “Menang tanpa ngasorake” (Menang tanpa menjatuhkan). Adagium tersebut memiliki makna bahwa kemenangan, keberhasilan, dan pencapaian yang kita harapkan haruslah tanpa merendahkan yang lain. Bukankah dengan imbuhan membenci produk asing tersebut sudah termasuk merendahkan? Jawabannya sudah jelas.

Ya, meskipun kembali lagi pada niat awal Pak Jokowi bahwa menyampaikan hal tersebut adalah bentuk kegeraman beliau pada praktik asing yang tidak sehat, tapi harus dipahami juga bahwa masyarakat kita hingga saat ini masih rawan akan kesalahpahaman.

Dari pernyataan tersebut, kesalahpahaman yang sangat rawan terjadi adalah fenomena nasionalisme buta. Yaitu sikap nasionalis yang hiper-fanatik. Sehingga mengamini tindakan merendahkan, mencela, dan melecehkan produk-produk yang berasal dari luar negeri. Jika hal semacam itu benar-benar terjadi, lantas di mana gema Kemanusiaan yang Adil dan Beradab?

Selanjutnya, bentuk kesalahpahaman tersebut merupakan sebuah bentuk “onani” nasionalisme yang sejak purba sering kita temui. Membangga-banggakan diri sendiri agar percaya diri, tak lupa menjelek-jelekkan liyan agar semakin percaya diri dan berani. Tapi, sekali lagi, hal tersebut adalah kekhilafan yang sulit diampuni.

Mendengar slogan tersebut mungkin hanya mendapat kepuasan sesaat, karena orang nomor satu di Indonesia turut menyongsong kemakmuran UMKM lokal agar terus berkembang dan turut tampil di panggung teater perdagangan bebas. Namun akan segera menemui rasa lemas dan letih, ketika melihat realita kebijakan pemerintah yang masih membuka keran impor secara luas. Belum lagi sikap membenci produk asing yang ditanamkan tersebut. Karena dampak dari membenci justru akan merusak diri sendiri. Begitu pun dalam hal ini, dengan membenci, sama saja kita menolak segala hal-hal berbau asing. Bukankah seharusnya kita mempelajarinya agar bisa setara dengan asing? Huh... 

Seiring waktu, nasionalisme semakin kabur maknanya. Nasionalisme sejati akan membangun sikap toleransi dan patrotisme. Alih-alih bersikap toleransi, seruan “benci produk asing” justru menjadikan sikap intoleransi semakin mendarah-daging. Tak pantas kiranya jika seruan tersebut dimaknai untuk memperkuat nasionalisme. Tak pantas pula seruan tersebut dijadikan slogan, apalagi disampaikan oleh seorang kepala negara. Semoga saja kesalahpahaman yang saya maksudkan tidak benar-benar ada, cukup menjadi keberisikan dalam kepala saya dan keberisikan jagat dunia maya.

Ainu Rizqi. Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Editor di Artikula.id. Berasal dari Kediri, Jawa Timur. Alumni PP Darul Ulum Jombang. IG: @Ainurzq

Tim redaksi al-Bayaanaat menerima naskah tulisan berupa, opini, kajian bahasa dan sastra, cerpen, puisi, dan resensi buku. Tema bebas, disesuaikan dengan karakter albayaanaat.com sebagai media mahasiswa cendekia bernafaskan bahasa, sastra, dan budaya yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Silahkan kirim karya tulis kalian ke email redaksi albayaanat.uinsuka@gmail.com dengan melampirkan biodata diri serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Untuk syarat dan ketentuan pengiriman naskah, silahkan klik kirim naksahTerimakasih. 



Posting Komentar

2 Komentar

  1. Kritik sosial nya keren jadi tingkatkan trus dan semangat...

    BalasHapus
  2. Wew.. Judulnya... Tp suka dengan pemilihan kata-katanya. Kritik yg membangun memang hrs terus digaungkan sampai kapanpun.

    BalasHapus

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan